SEMARANG (jatengtoday.com) — Sengketa lahan di RW 10 Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang terus bergulir. Kasus ini melibatkan ratusan warga yang sudah tinggal turun-temurun melawan pihak yang mengklaim memiliki surat tanah.
Setelah mendapat aduan, Komisi A DPRD Kota Semarang berusaha mencari titik temu dengan menggelar audiensi di kantornya. “Kami mengundang warga bersama dinas-dinas terkait,” ujar Wakil Ketua Komisi A, Sodri saat ditemui, Rabu (29/7/2020).
Secara rinci, mediasi itu antara lain diikuti perwakilan warga yang mengadu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Semarang, Disperkim Kota Semarang, Satpol PP Kota Semarang, Camat Ngaliyan, dan Lurah Wonosari. Namun, pihak terlapor belum dihadirkan.
Menurut Sodri, dari mediasi itu pihaknya mengetahui bahwa sengketa lahan di RW 10 Kelurahan Wonosari sudah bergulir sejak lama.
Kasus kembali meruncing saat seseorang bernama Ryan Wibowo mengklaim punya sertifikat tanah di lokasi perkampungan warga. Kemudian Ryan mengerahkan pekerja untuk membangun, didahului dengan melakukan pemagaran mengelilingi rumah-rumah warga.
“Dari situlah warga tidak terima. Warga merasa itu miliknya dan keberatan jika didirikan bangunan oleh pihak lain. Akhirnya mengadu ke kami,” jelas Sodri.
Namun, hingga audiensi berakhir, belum ada kesepakatan bulat. Audiensi akan kembali digelar lain waktu sembari menunggu warga melengkapi data-data penguat tentang kepemilihan tanah yang selama ini mereka tempati.
Kejanggalan Penerbitan Sertifikat Tanah
Pada kesempatan itu, perwakilan warga, Kyai Zaenuri meminta supaya penyelesaian sengketa di RW 10 Kelurahan Wonosari jangan hanya didasarkan pada siapa yang memiliki sertifikat tanah asli.
“Kami minta itu diusut. Bagaimana prosesnya kok bisa sampai terbit sertifikat. Apakah prosesnya sudah legal atau belum,” ujarnya.
Menurut Zaenuri, itu penting dilakukan mengingat selama ini warga yang menempati lahan justru kesulitan mengurus sertifikat. Termasuk tak bisa mengurus alamat perpindahan KTP. Padahal banyak yang sudah tinggal puluhan tahun hingga berganti generasi.
Salah satu warga, Hartati mengaku sudah tinggal di RW 10 sejak tahun 2000. Namun hingga 20 tahun kemudian belum juga mendapatkan haknya. Dia mengaku sudah berulangkali berusaha mengurus sertifikat tanah dan pembaruan KTP.
“Sudah berkali-kali nyoba ngurus di kelurahan, di kecamatan, tetapi nggak bisa-bisa. Kalau ada pemilu ya saya tetap disuruh nyoblos, nyoblosnya di alamat asal dulu di Kelurahan Tambakaji, Ngaliyan,” paparnya.
Pertanyakan Kinerja BPN
Pengamat pertanahan Kota Semarang, Hasyim mengaku prihatin dengan sengketa tanah yang terjadi di RW 10 Kelurahan Wonosari. Apalagi sampai ada warga yang menempati bertahun-tahun tetapi dianggap warga liar.
“Kasus di Wonosari ini memang aneh. Warganya di situ nggak bisa ngurus sertifikat tapi ada warga luar kota yang mengurus langsung diproses,” kritik Hasyim saat ditemui secara terpisah.
Dia mempertanyakan kinerja BPN Kota Semarang dan dinas terkait selaku pihak yang memiliki wewenang menerbitkan sertifikat. Hasyim sepakat dengan apa yang ditanyakan warga, bagaimana prosesnya hingga terbit surat tanah.
“Coba tanyakan, sebelum mereka mengukur untuk keperluan penerbitan surat tanah apakah mereka melihat bahwa di lokasi tersebut masih ada rumahnya atau tidak,” ucapnya.
Sebab faktanya, sertifikat-baru diterbitkan meskipun di atas tanah tersebut masih berdiri rumah-rumah warga. Dia paham betul dengan sengketa ini karena ia sedang melakukan penelitian untuk keperluan pendidikan S-3.
“Harusnya ditanyakan, kalau ada bangunan, itu milik siapa? Bangunannya berdiri tahun berapa? Selesaikan dulu itu. Kalau tidak ya jadinya seperti sekarang, ruwet. Saya mengamati, prosesnya yang kurang pas,” tandasnya. (*)
editor: ricky fitriyanto