SEMARANG (jatengtoday.com) – Salah satu pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kendal mengaku menemui banyak kendala saat melakukan pengukuran tanah dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Petugas ukur BPN Kendal, Suroso (51) mengungkapkan, permasalahan biasanya terasa saat bekerja di daerah pegunungan. Sebab, bidang tanah yang diukur berada di medan yang cukup sulit, tidak seperti tanah di perkotaan.
Salah satunya saat ia bekerja di Desa Ngabean, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal. Ketika itu ia bertugas mengukur 1.500 bidang tanah di desa tersebut.
“1.500 bidang saya ukur sendiri selama 2 bulanan. Sekarang sudah jadi semua,” ungkap Suroso saat menjadi saksi dugaan korupsi PTSL dengan terdakwa Supriyanto di Pengadilan Tipikor Semarang, Selasa (18/2/2020) sore.
Meskipun secara administratif ia bertugas sendirian, tetapi dalam praktiknya di lapangan tetap didampingi oleh perangkat desa. “Iya, ada perangkat desa, Pak Kadus, soalnya dia yang tahu lokasi tanahnya (yang akan diukur),” imbuh Suroso.
Selain Kadus, tentunya ia juga didampingi pemilik tanah atau peserta PTSL beserta tetangga batas atau orang yang memiliki tanah di dekat objek.
3 Patok per Bidang Tanah Tak Cukup
Suroso sendiri melakukan pengukuran secara manual. Setelah dipasang batas, ia akan melakukan pengukuran dan memasang patok. Berdasarkan ketentuan, per bidang tanah dipasang 3 patok.
Hal itu mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri No 34 Tahun 2017 dan dirinci dalam Peraturan Bupati Kendal No 3 Tahun 2018 yang mengatur mengenai rincian pengadaan patok.
Baca juga: BPN Kendal: Pungutan Biaya PTSL Maksimal Rp 150 Ribu per Bidang Tanah
Namun, di sisi lain ia kerap kesulitan akibat ketentuan tersebut. Sebab, tidak semua tanah yang diukur memiliki sudut yang sama, ada yang berbentuk persegi, ada pula yang tak beraturan.
“Harusnya sih lebih (dari 3 patok). Apalagi yang tanah di daerah pegunungan, itu kadang butuh banyak banget patoknya. Minimal 4 patok,” tutur Suroso.
Ia mengamini pernyataan dari penasehat hukum terdakwa, bahwa dengan hanya 3 patok per bidang, mengurangi akurasi pengukuran.
Patok Tidak Boleh Sembarangan
Menurut Suroso, apabila diperlukan lebih dari 3 patok, sementara ini biasanya pemilik tanah yang harus berinisiatif menambahi. “Kalau di Desa Ngabean, banyak yang patoknya lebih dari 3,” jelasnya.
Namun, kata dia, berdasarkan PP 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah diatur bentuk dari patok atau penanda batasnya. “Patok harus terbuat dari bahan yang tak mudah lapuk, bisa dari besi, cor, atau kayu yang kuat,” ungkap Suroso. (*)
Baca juga: Korupsi PTSL Desa Ngabean di Kendal, Ada 3 Hal yang Dipungut Biaya
editor: ricky fitriyanto