SEMARANG (jatengtoday.com) – Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Kelurahan Tegalsari, Kabupaten Tegal bermasalah. Pihak panitia mematok biaya sertifikasi per bidang tanah hingga Rp 957 ribu.
Bahkan, uang yang terkumpul selanjutnya digelapkan oleh staf kelurahan yang bernama Taryanto. Kini ia sudah ditetapkan sebagai terdakwa dan sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang.
Jaksa Kejari Tegal Wiwin Deddy Winardi mengungkapkan, kasus itu bermula saat Kelurahan Tegalsari mendapat program percepatan sertifikasi tanah atau PTSL pada 2017. Kemudian pada bulan Juni diadakan pertemuan di pendopo kelurahan.
BPN memberi sosialisasi bahwa PTSL terdiri dari beberapa tahapan, mulai penyuluhan, pendataan, pengukuran, hingga pembangian sertifikat.
Pasca pertemuan itu, terdakwa Taryanto sebagai staf kelurahan kemudian mengkoordinir kepanitian PTSL. Selanjutnya ia mengusulkan biaya sertifikasi sebesar Rp 1,3 juta per bidang tanah.
Namun usulan terdakwa ditolak dengan alasan terlalu mahal. Lalu dirumuskan lagi oleh terdakwa dengan nominal yang lebih rendah, yakni Rp 957 ribu.
Rinciannnya untuk pembuatan patok Rp 100 ribu, pemberkasan dokumen Rp 600 ribu, materai Rp 7 ribu, transpot Rp 100 ribu, serta biaya makan snack Rp 150 ribu.
“Bahwa pungutan biaya tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tegas jaksa Wiwin dalam dakwaannya.
Berdasarkan surat edaran Gubernur Jawa Tengah disebutkan, apabila ada kekurangan biaya PTSL dapat dilakukan pungutan dengan syarat ada rembug warga dan biaya yang wajar.
“Lantas terdakwa mengatakan, siapapun yang tidak bersedia membayar Rp 957 ribu maka sertifikat tidak akan diproses. Hingga para pemohon terpaksa membayar uang sejumlah tersebut,” jelasnya.
Atas tarif itu, Bendahara Pokmas kemudian menerima lebih dari Rp 50 juta atas 44 orang pemohon PTSL. Terdakwa sendiri telah menerima Rp 38,2 juta dari 40 pemohon.
“Bahwa uang yang diterima terdakwa sebesar Rp 38,2 juta telah digunakan untuk biaya anaknya, membayar hutang, serta keperluan terdakwa sendiri,” beber Wiwin.
Akibat perbuatan itu, terdakwa dijerat Pasal 12 huruf e, Pasal 8, dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (*)
editor: ricky fitriyanto