in ,

Merawat Tradisi Potong Rambut Gimbal di Lereng Merbabu

Tradisi potong rambut gimbal ini juga merupakan salah satu cara untuk menolak bala.

Prosesi tradisi pemotongan rambut gimbal pada anak di Dusun Thekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Rabu (06/11/2024). (foto : bowo)

UNGARAN (jatengtoday.com)–Masyarakat di lereng Gunung Merbabu, Kabupaten Semarang, khususnya di Dusun Thekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan masih merawat dan melestarikan tradisi potong rambut gimbal.

Dalam perspektif budaya (warisan leluhur), warga setempat menganggap tradisi yang diperuntukkan bagi anak berambut gimbal ini menjadi salah satu bentuk ungkapan rasa syukur (tasyakuran).

Karena tidak semua anak yang bermukim di lingkungan dusun ini dikaruniai atau memiliki rambut yang dalam pertumbuhannya menjadi gimbal. Sehingga keberadaannya –dianggap– memiliki suatu keistimewaan.

Di satu sisi, tradisi potong rambut gimbal ini juga merupakan salah satu cara untuk menolak bala (sengkolo) atau hal- hal yang cenderung buruk, musibah serta kesialan oleh karena energi negatif selain ruwatan.

Kearifan Lokal

Terlepas dari ini semua, tradisi potong rambut gimbal di lereng Merbabu tersebut menjadi salah satu kearifan lokal yang memiliki keunikan di tengah kemajuan teknologi dan modernitas seperti sekarang ini.

Seperti yang dilaksanakan oleh pasangan Sugimin dan Suparni, yang hari ini, Rabu (6/11/2024), menggelar hajat potong rambut gimbal untuk putra keduanya, Nofis Nova Andika (4,5).

Menurut Sugimin, putra keduanya tersebut –awalnya– terlahir dengan rambut normal seperti umumnya rambut anak-anak lainnya. Namun seiring dengan pertumbuhannya tanda- tanda rambutnya mulai gimbal semakin terlihat.

Diawali dari keriting kecil- kecil di beberapa bagian dan lama kelamaan rambut tersebut menjadi gimbal. Sehingga –selama ini— ia memang tidak pernah memotong atau merapikan rambut anaknya tersebut.

Sebab ia khawatir jika gimbal tersebut dipotong, akan mengakibatkan sesuatu yang kurang baik bagi Nofis. “Apakah kesehatan dan pertumbuhannya, maupun hal- hal lain yang tidak kami harapkan,” tegasnya.

Kebetulan, baik Sugimin, istrinya Suparni dan juga kakak putra sulung mereka Bayu Rahmadi (19) juga berambut gimbal. Sehingga keluarga ini juga sudah akrab dengan tradisi potong rambut gimbal.

Seperti halnya tradisi sebelum-sebelumnya, masih kata Sugimin, tata cara tradisi potong rambut gimbal ini dimulai dari prosesi mengundang para sesepuh warga untuk minta doa restu. Demikian juga para tetangga untuk ikut menyaksikan prosesi pemotongan rambut gimbal.

Kemudian dilakukan prosesi ‘nguwur- uwuri’ terhadap anak yang akan dipotong rambut gimbalnya dan dilanjutkan prosesi doa hajat atau selamatan. Setelah proses nguwur- uwuri selesai baru dilakukan pemotongan rambut gimbal, sampai dengan selesai.

Untuk mengawali pemotongan rambut gimbal ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. “Tetapi orang- orang tertentu, seperti sesepuh warga dan orang yang dianggap punya keahlian tertentu (seperti dukun bayi) dan juga oleh tokoh agama di Dusun Thekelan ini,” tambahnya.

Turun-temurun

Sementara itu, Kepala Dusun (Kadus) Thekelan, Supriyo Tarsan menambahkan, tradisi potong rambut gibal ini sudah berlangsung turun-temurun di Dusun Thekelan dan masih dilestarikan olah warganya.

Menurutnya, potong rambut gimbal ini menjadi tradisi semacam tasyakuran sekaligus juga untuk menjauhkan dari berbagai hal yang negatif. “Seperti misalnya kesialan, marabahaya dan lainnya, yang orang Jawa sering menyebut sengkolo,” jelasnya.

Ia juga menyampaikan tidak banyak anak di lingkungan dusunnya yang terlahir dengan rambut gimbal. Namun bagi keluarga yang mempunyai anak berambut gimbal pasti akan melaksanakan tradisi ini.

Hanya saja semua tergantung dengan kemauan dan kemampuan keluarga masing- masing. Sebab terkadang orang tua sudah menyiapkan kebutuhan untuk tradisi ini, tetapi anaknya belum mau untuk dipotong.

Atau sebaliknya, orang tua akan melaksanakan setelah merasa sudah mampu. Apalagi di lingkungan dusunnya, menggelar tradisi potong rambut gimbal ini sama halnya dengan menggelar acara hajatan.

Karena merupakan ungkapan rasa syukur, pemilik hajat juga menyelengggarakan acara selamatan dan juga pesta dengan mengundang para tetangga. “Bahkan sanak saudara yang jauh pun datang untuk memberikan doa restu,” tegasnya. (*)