in

Menyelamatkan Kethoprak Truthuk, Kesenian Tradisi yang Tenggelam di Zaman Milenial

SEMARANG (jatengtoday.com) – Salah satu kesenian tradisional di Kota Semarang yang nyaris punah di tengah peradaban zaman milenial adalah Kethoprak Truthuk. Tak banyak generasi muda sekarang yang masih mengenal kesenian tradisi peninggalan nenek moyang ini.

Kethoprak Trutuk adalah pertunjukan teater tradisional yang diiringi dengan bunyi-bunyi alat musik pukul seperti kentongan dan lain-lain. Awalnya, Kethoprak Truthuk ini menjadi media tutur sekaligus tradisi klangenan masyarakat untuk berkumpul di malam bulan purnama. Pertunjukan tersebut biasanya menceritakan legenda, mitos, ataupun cerita leluhur yang memuat nilai sejarah kerajaan nusantara.

Salah satunya di Desa Kandri, Gunungpati, Kota Semarang. Sekelompok warga yang tergabung dengan Komunitas Tirang berupaya menghidupkan Kethoprak Truthuk tersebut. Selain sebagai upaya “nguri-uri” budaya, Ketoprak Truthuk sekaligus untuk memperkuat potensi desa wisata di wilayah tersebut, terutama di Goa Kreo.

Kasie Atraksi Budaya Disbudpar Kota Semarang, Sarosa, mengakui sejauh ini Kethoprak Truthuk tenggelam digerus peradaban modern. Namun sebetulnya, kesenian ini bukanlah sebuah mitos. “Pelestarian budaya memang harus digencarkan. Anak muda sekarang memang sangat jarang yang mengenal Kethoprak Truthuk ini,” katanya, Jumat (12/4/2019)

Pihaknya mengakui, sejauh ini jenis kesenian ini memang kurang promosi. Sehingga anak muda banyak yang tidak mengenal. “Kami berusaha membangkitkan kembali kesenian yang nyaris punah ini. Salah satunya akan disajikan di objek wisata di akhir pekan,” katanya.

Menurutnya, Ketoprak Truthuk merupakan salah satu bentuk kesenian teater tradisi yang unik di Kota Semarang. Dulunya, kesenian teater rakyat ini menjadi hiburan warga saat bulan purnama. Hal itu menjadi momen berinteraksi sesama warga. “Dalam perkembangannya, Truthuk ini berubah menjadi sebuah seni drama tradisi baik ketoprak, drama, sandiwara dan lain-lain. Kemasannya lebih tertata, dilengkapi dengan iringan musik yang lebih variatif,” katanya.

Namun tujuannya sama, yakni menjadi media tutur untuk menyampaikan nilai-nilai. Baik nilai moral, pendidikan, hingga sejarah nusantara. Namun sekian lama menghilang, belakangan ini berusaha untuk dihidupkan kembali. “Kami berupaya menggali bersama komunitas Tirang, agar kesenian ini bisa dikemas lebih kekinian. Memasukkan isu cerita-cerita sosial masyarakat di era sekarang. Inovasi cerita, iringan musik hingga kostum. Musiknya sekarang ditambah gamelan,” katanya. (*)

editor : ricky fitriyanto

Abdul Mughis