in

Korupsi PTSL Desa Ngabean di Kendal, Ada 3 Item yang Dipungut Biaya

SEMARANG (jatengtoday.com) – Pungutan liar dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Desa Ngabean, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal ternyata terdiri dari beberapa item.

Pemungutan meliputi biaya permohonan pendaftaran sebesar Rp 500 ribu, biaya Iayanan administrasi pembuatan Surat Hibah/Waris/Asal Usul Rp 500-600 ribu, dan biaya pengambilan sertifikat sebesar Rp 100 ribu.

Hal itu terungkap saat pemeriksaan saksi di sidang dugaan korupsi PTSL dengan terdakwa Kepala Desa Ngabean, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Supriyanto bin RH Ainur Rois (44), di Pengadilan Tipikor Semarang, Selasa (11/2/2020).

Dugaan korupsi tersebut terjadi pada bulan Januari 2018 sampai Februari 2019.

Ada dua orang yang didaulat menjadi Bendahara PTSL di Desa Ngabean. Yakni Tri Andayani (Kaur Keuangan desa) dan Sugiharsono (Kaur Umum desa). Keduanya hari ini dihadirkan menjadi saksi sidang.

Tri Andayani menyatakan, saat program PTSL bergulir di Desa Ngabean, total ada 1500 bidang tanah yang didaftarkan. Pesertanya sekitar 1000 warga, karena ada warga yang memiliki lebih dari satu bidang tanah.

Sebelum pendaftaran itu, pihak desa mengadakan sosialisasi PTSL terlebih dulu. “Sosialisasinya dua kali. Bulan Januari semua. Kan pesertanya banyak, gedungnya nggak muat kalau jadi satu,” jelas Tri.

Baca juga: Sidang Korupsi PTSL, Kepala Kesbangpol Kendal Diperiksa

Sosialisasi dipimpin langsung oleh Kades dengan dihadiri warga, Ketua RT, Kepala Dusun, Koramil, Polisi, serta pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kendal.

Ketika itu diumumkan bahwa PTSL tidak gratis, melainkan tetap ada pungutan biaya operasional. Sehingga sempat ada musyawarah penentuan besaran biaya. Awalnya Rp 600 ribu per bidang tanah, terus turun jadi Rp 550 ribu, kemudian disepakati Rp 500 ribu.

“Setahu saya tidak ada yang keberatan atas biaya itu. Tidak ada keributan, semuanya sepakat,” jelas Tri.

Setahu dia, biaya Rp 500 ribu itu digunakan untuk operasional PTSL. “Ada biaya untuk beli patok, per bidang tanah 4 patok. Lalu biaya lemburan panitia, pembelian materai, dan uang transport,” ungkapnya.

Bentuk Kepanitiaan Ilegal

Setelah pertemuan itu, terdakwa Supriyanto selaku Kades membentuk kepanitiaan PTSL tanpa melalui musyawarah kelompok masyarakat peserta PTSL. Kepanitiaan juga tidak mendapat legalisasi dari BPN.

Terdakwa sendiri berlaku sebagai penanggung jawab PTSL. Kemudian Ketua Machfut Triyono, Sekretaris Nur Anifah dan Septo Budi Lugito, Bendahara Tri Andayani dan Sugiharsono.

Adapun anggotanya adalah Kepala Dusun (Kadus) Kliwonan Suryanto, Kadus Kalikatok Subianto, Kadus Mluro Muhsinin, Kadus Ngularan Harowi, Kadus Balak Samirin, Perangkat Desa Bagyo, Bisri, serta Sugeng.

Masing-masing panitia melakukan pungutan PTSL atas arahan dari terdakwa. “Setahu saya panitianya juga ditunjuk dadakan. Rata-rata juga dari perangkat desa,” jelas Tri.

Pungutan Capai Ratusan Juta

Berdasarkan keterangan Bendahara PTSL Tri Andayani, dari 1500 bidang tanah yang diajukan, ia menerima pungutan biaya pendaftaran dengan total sekitar Rp 200 juta. Uang tersebut selanjutnya diserahkan ke terdakwa untuk dikelola.

Jumlah tersebut sebenarnya masih terbilang sedikit jika dihitung berdasarkan tarif per bidang tanah. Hal ini disebabkan dalam pelaksanaannya tidak semua peserta PTSL dipungut biaya.

“Warga yang kurang mampu memang tidak dikenakan biaya. Yang menentukan siapa yang gratis dan tidak ya masing-masing Kadus. Kemudian seperti tanah masjid, musala juga gratis,” jelas Tri.

Sementara itu, Bendahara PTSL lain, Sugiharsono mengaku menerima pungutan dengan total Rp 166 juta. Pungutan tersebut terdiri dari dua hal, yakni permohonan pendaftaran sebesar Rp 55,2 juta dan biaya Iayanan administrasi pembuatan Asal Usul sebesar Rp 110.

Baca juga: Kasus Kredit Fiktif BRI Kendal, Mantri dan Broker Jalani Sidang Perdana

“Kalau yang Rp 55,2 juta saya serahkan ke bendahara (Tri Andayani), yang Rp 110 langsung ke Pak Kades (terdakwa),” ungkap Sugiharsono.

Setelah sertifikat jadi, ternyata warga masih harus mengeluarkan biaya tambahan. Terdakwa menghendaki setiap warga yang akan mengambil undangan pengambilan sertifikat harus membayar Rp 100 ribu.

Uang dari pungutan terakhir itu diserahkan ke bendahara Tri dengan uang yang terkumpul sebesar Rp 3,1 juta. (*)

 

editor: ricky fitriyanto