SEMARANG (jatengtoday.com) – Kepala Desa Sidamulya, Kecamatan Wanareja, Kabupaten Cilacap periode 2013–2016, Toyib bin Ahmad Dasuki menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Selasa (28/1/2020) sore.
Jaksa Penuntut Umum Kejari Cilacap, Arif Nurhidayat menilai, terdakwa Toyib terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi dalam proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) di Desa Sidamulya, Cilacap pada 2016 silam.
Oleh karena itu, jaksa memohon kepada majelis hakim yang dipimpin Aloysius Priharnoto Bayu Aji untuk mengabulkan tuntutan pidana terhadap terdakwa Toyib.
“Menuntut agar terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah tetap ditahan,” tegas jaksa Arif.
Selain itu, jaksa juga menuntut terdakwa dengan pidana denda Rp 150 juta. “Dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan,” imbuhnya.
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan. Di antaranya terdakwa mau berterus terang, terdakwa masih mempunyai tanggungan keluarga, serta bersedia mengembalikan uang yang diterima dalam kasus ini.
Di sisi lain, terdakwa telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan tugasnya sebagai kepala desa serta tidak mendukung program pemerintah untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Modus Pungli
Terdakwa Toyib melakukan tindakan tercelanya pada tahun 2016 silam saat ia masih menjabat Kades Sidamulya. Ketika itu ia juga menjadi panitia Prona atau personel tim legalisasi aset tanah.
Prona merupakan program sertifikasi tanah gratis yang sudah dibiayai pemerintah. Belakangan, Prona berganti nama menjadi Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Berkaitan dengan itu, petugas BPN Cilacap pernah melakukan sosialisasi Prona di Desa Sidamulya di balai desa setempat. Selepas acara BPN, Kades Toyib langsung mengambil alih rapat dan memberitahu kepada masyarakat bahwa meskipun gratis tetap ada biaya yyag harus ditanggung.
Baca juga: Korupsi Dana PUPM, 2 Kadus Desa Plumbon Dituntut 3 Tahun Penjara
Terdakwa mengumumkan bahwa yang ingin mengurus sertifikat harus membayar biaya operasional seperti pembelian patok, tenaga ukur, dan lainnya, dengan biaya sekurang-kurangnya Rp 600 ribu per sertifikat.
“Bahkan ada yang mencapai Rp 1 juta hingga Rp 1,3 juta jika pemohon sertifikat tidak memenuhi syarat, seperti contoh harus mutasi,” jelas jaksa.
Setelah pertemuan itu, terdakwa menginstruksikan semua Kepala Dusun (Kadus) untuk mencatat siapa saja yang akan mengurus sertifikat tanah serta memberitahu besaran biayanya. Bahkan, para Kadus juga diminta membantu mengumpulkan iuran dana tersebut.
Baca juga: Korupsi Tanah Kas Desa, Kades di Karanganyar Sempat Palsukan Tanda Tangan
“Terdakwa memerintahkan Kadus untuk menahan sertifikat yang sudah jadi jika orang yang mengajukan belum melunasi biayanya,” imbuh jaksa.
Setelah itu, dana disetorkan kepada bendahara desa atas arahan terdakwa. Dihitung dari jumlah pengusul sertifikat, total dana yang terkumpul seharusnya mencapai Rp 123,5 juta. Namun, karena ada yang tidak wajib membayar, maka jumlahnya berkurang.
“Ada 15 bidang tanah yang tidak harus membayar biaya pengurusan sertifikat. Salah satunya adalah Kades sendiri,” beber jaksa.
Sehingga, dana iuran yang terkumpul adalah Rp 111,9 juta. Ternyata, yang digunakan sebagai dana operasional hanya sekitar Rp 19 juta. Sisanya, Rp 92 juta digunakan untuk kepentingan pribadi terdakwa serta dibagi-bagikan kepada pihak yang turut mengurusi program itu.
Diprotes Warga
Sebelum kasusnya bergulir di pengadilan, terdakwa Toyib yang menjabat sebagai Kades periode 2013–2019 hendak mencalonkan lagi sebagai petahana. Ia juga sudah diloloskan dalam tahap pendaftaran bakal calon Kades Wanareja.
Total ada tiga orang bakal calon, yang mengikuti pemeriksaan berkas persyaratan, yakni Toyib (petahana), Suwarno (mantan kades), dan Sutaryo. Namun, pada awal tahun 2019 ia dicoret dari daftar itu. (*)
editor: ricky fitriyanto