in

Korupsi Bermodus Kredit Fiktif, eks Kepala BKK Cabang Belik Pemalang Divonis 5 Tahun Bui

SEMARANG (jatengtoday.com) – Mantan Kepala Cabang Belik PD BKK Pemalang, Achmad Muzhohirin divonis 5 tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi di lembaga yang dipimpinnya dengan modus kredit fiktif.

Vonis dibacakan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Semarang, Casmaya dalam sidang virtual yang digelar Rabu (26/8/2020).

Selain pidana penjara, terdakwa juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara senilai Rp798,919 juta. “Jika tidak dibayar dalam waktu satu bulan setelah perkara ini berkekuatan hukum tetap, maka diganti pidana penjara selama 2 tahun 8 bulan,” tegas hakim.

Atas putusan tersebut, baik pihak terdakwa maupun jaksa penuntut umum Kejari Pemalang, menyatakan pikir-pikir terlebih dahulu. Hakim kemudian memberikan kesempatan selama 7 hari untuk menentukan sikap.

Jiak dibandingkan, putusan hakim ini terbilang lebih ringan daripada permohonan jaksa yang menuntut terdakwa dipenjara selama 5 tahun 6 bulan dan pidana denda Rp100 juta subsidair 3 bulan penjara. Untuk pidana tambahan berupa uang pengganti, besarnya sama.

Pengembangan Kasus Lama

Dalam dakwaan disebutkan, terdakwa Muzhohirin bersama beberapa orang lain melakukan tindak pidana korupsi dengan modus kasus kredit fiktif di PD BKK Pemalang pada 2013–2016. Saat itu terdakwa masih menjabat sebagai Kepala Cabang Belik PD BKK Pemalang.

Menurut Jaksa Kejari Pemalang, Haris, terdakwa berupaya menekan angka non-performance loan (NPL) dengan memperbanyak permohonan kredit.

Dia kemudian memerintahkan dua orang anak buahnya yaitu Harun Zain sebagai Kasi Pemasaran (sudah dipidana) dan Zaedin Musthofa selaku Kasi Kredit (sudah dipidana), untuk mencari nasabah kredit sebanyak-banyaknya.

Namun dalam pelaksanaannya, Harun dan Zaedin membuat permohonan kredit fiktif. Yaitu dengan cara menggunakan data nasabah yang sudah lunas untuk pengajuan kredit/pinjaman. Hal itu dilakukan tanpa sepengetahuan nasabah yang bersangkutan.

Dalam pencairan kredit tersebut, tentunya harus mendapatkan persetujuan dari terdakwa selaku pimpinan. Namun faktanya, terdakwa memberikan persetujuan tanpa melakukan pemeriksaan dan pengecekan ulang data pemohon kredit.

Seharusnya, sebagai pimpinan, terdakwa berkewajiban untuk bertatap muka dengan calon nasabah sebelum menyetujui permohonan kredit. Hal itu memverifikasi permohonan kredit yang diajukan. Namun hal itu tidak dilakukan terdakwa.

Tak hanya itu, terdakwa juga memperbolehkan Harun Zain untuk mencairkan terlebih dahulu permohonan kredit dari nasabah tanpa harus ada tandatangan atau persetujuan dari terdakwa. Perbuatan tersebut telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 798,919 juta. (*)

 

editor: ricky fitriyanto 

 

Baihaqi Annizar