in

Konflik Wadas dari 2 Versi Berbeda

Memahami relasi kuasa, hegemoni, dan represivitas di konflik Wadas.

Ratusan aktivis PMII menggelar aksi di depan kampus UIN Walisongo untuk mengecam tindakan represif aparat di Desa Wadas Purworejo, beberapa waktu lalu. (istimewa)

Sebenarnya, sebelum saya memberanikan diri untuk menulis artikel ini, saya sempat ragu dan takut. Mengingat masih panasnya konflik yang terjadi di di Desa Wadas Purworejo serta versi duduk perkara yang berbeda (antara warga Wadas dan Aparat) terkait apa yang terjadi di lapangan.

Dalam beberapa kesempatan, saya sering menanyakan langsung kepada teman-teman ngopi saya yang sering melakukan advokasi langsung di Wadas, atau bahkan mengontak kawan saya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang merupakan kuasa hukum dari warga desa Wadas.

Saya harus melihat dan membaca fakta lainnya dari pihak yang berlawanan, sehingga menjadi antitesis terhadap fakta yang saya dengar sebelumnya.

Dalam tulisan ini, saya mencoba mengambil benang merah dari dua perkara terkait konflik yang terjadi di Desa Wadas. Keterangan terkait konflik seperti apa yang terjadi di Desa Wadas dari pihak warga yang dalam hal ini diwakilkan oleh LBH Yogyakarta sebagai kuasa hukum, dan juga versi yang diungkapkan langsung oleh pihak kepolisian.

Kemudian, bagaimana permainan relasi kuasa dan hegemoni dalam kasus perampasan tanah rakyat oleh negara di Desa Wadas, serta kaitannya dengan tindakan represif yang diterima warga yang dibungkus dalam istilah “demi kepentingan umum”.

Konflik Wadas, 2 Versi Berbeda

Dilansir dari situs resmi LBH Yogyakarta, Selasa (08/02/2022), beberapa intimidasi dialami warga Desa Wadas yang menolak pengukuran tanah yang akan dilakukan oleh Badan Pertanahan  Negara (BPN) untuk dilakukan aktivitas pertambangan andesit.

Intimidasi ini diawali sejak Senin (07/02), ketika ribuan aparat kepolisian mencoba memasuki kembali Desa Wadas. Aparat kemudian mendirikan tenda di Lapangan Kaliboto yang berada di belakang Polsek Bener, Purworejo.

Kemudian, pada malam hari, terjadi pemadaman listrik di Desa Wadas yang sementara desa-desa lainnya tetap menyala.

Keesokan harinya, Selasa (08/02), sekitar pukul 07.00 WIB pagi, salah satu warga Wadas bersama istrinya yang kebetulan akan pergi ke kota Purworejo membeli sarapan di lokasi yang tidak jauh dari sekitar Polsek. Tiba-tiba warga tersebut didatangi beberapa orang polisi dan kemudian dibawa ke Polsek Bener. Hingga saat ini, keberadaan warga tersebut belum diketahui.

Setelah itu, sekitar pukul 10.00 WIB, sejumlah mobil polisi mulai memasuki Desa Wadas dengan mencopoti poster-poster yang berisikan tulisan-tulisan penolakan terhadap penambangan di Desa Wadas.

Pukul 10.48 WIB, aparat kepolisian dalam jumlah besar berhasil memasuki Desa Wadas menggunakan mobil, motor dan jalan kaki.

Pukul 12.00 WIB, aparat kepolisian melakukan pengepungan dan menangkap warga yang sedang melakukan mujahadah di masjid. Dan proses pengukuran tanah di hutan tetap berjalan.

Sekitar pukul 12.24 WIB, aparat kepolisian mendatangi ibu-ibu yang tengah membuat besek di posko-posko jaga, lalu merampas barang-barang mereka.

Warga Wadas yang sejak tahun 2018 konsisten menjaga kelestarian alam dan menolak pertambangan batuan andesit yang dilakukan di Desa Wadas, menuntut kepada Gubernur Jawa Tengah dan Kapolda Jawa Tengah untuk segera menghentikan pengukuran tanah dan rencana pertambangan di Desa Wadas, Bener, Purworejo.

Dilansir dari kanal resmi Greenpeace Indonesia, warga Wadas tidak menolak pembangunan Bendungan Bener, mereka bahkan mendukung pembangunan yang merupakan program pemerintah tersebut. Warga Wadas hanya menolak penambangan batua andesit yang dilakukan di desa mereka karena dinilai akan merusak sumber mata air dan lingkungan yang ada di desa tersebut.

Dampak dari penolakan tersebut, setiap hari warga Wadas diteror oleh aparat kepolisian. Mereka dihantui patroli, bahkan beberapa kali warga dimata-matai menggunakan kamera drone.

Jauh sebelumnya, menurut LBH, semenjak warga melakukan penolakan, mereka sempat direpresi, ditangkap serta diusir dari lahan-lahan pertaniannya sendiri hanya untuk menuruti ambisi negara meskipun tidak mendapatkan persetujuan warganya.

Sedangkan menurut pihak kepolisian, seperti disampaikan dalam Konferensi Pers Polda Jawa Tengah (09/02), dalam tahapan melakukan negosiasi kepada warga yang kontra, satgas pengamanan melakukan pendampingan menuju objek pengukuran yang sudah ditentukan bersama tim pengukur dari BPN sampai selesai.

Satgas telah melakukan pengamanan terhadap warga yang kontra serta memprovokasi warga yang diukur bidang tanahnya. Selain itu, dilakukan juga pendampingan dalam memastikan tidak ada pengguna kekerasan dan pelanggaran personel satgas yang melaksanakan pengamanan.

Menurut pihak polisi, seluruh tim pengukur dan Satgas Pengamanan pada pukul 17.00 WIB sudah meninggalkan area Desa Wadas dengan aman. Menurutnya, selama pelaksanaan pengukuran Tahap I tidak ada kekerasan dari anggota Polri terhadap masyarakat sehingga kegiatan berjalan lancar, aman, dan kondusif.

Pihak Polri juga mengamankan beberapa orang yang katanya untuk dilakukan swab COVID-19 karena ada warga yang terkena COVID-19, sehingga harus menjalani isolasi terpusat. Selain itu, beberapa warga diamankan karena melakukan perlawanan dan membawa senjata tajam.

Konstruksi Relasi Kuasa dan Hegemoni

Menurut Arif Budiman (1996), sebagai pelembagaan dari kepentingan umum, negara memiliki kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, termasuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan fisik dalam meneguhkan dominasinya. Secara struktural, dalam hal ini pemerintah sebagai yang menjalankan pemerintahan, menciptakan regulasi dan kebijakan.

Dalam konteks ini, saya memakai pendekatan konstruksi hegemoni dan relasi kuasa. Secara general, hegemoni adalah dominasi atau kekuasaan sosial-budaya dari kelompok dominan dalam suatu tatanan masyarakat. Menurut Gramsci, dikutip dari pandangan Arif Budiman (1996), hegemoni adalah ‘ide’ dari kelas penguasa untuk memanipulasi sistem serta kebiasaan suatu masyarakat sebagi satu pandangan global atau tatanan sistem.

Selanjutnya, hegemoni merupakan jalan ketika kelas penguasa mencoba melakukan penundukan (subjugasi) terhadap kelompok yang akan ditundukkan atau dijinakan.

Gramsci kemudian menjelaskan, hegemoni adalah suatu bentuk dominasi kuasa yang erat dengan konteks relasi kuasa. Terdapat upaya-upaya dari kelas penguasa dalam mendominasi dengan berbagai cara, baik melalui konsensus atau otoritas, sehingga tanpa disadari lembaga-lembaga swasta, agama bahkan individu pun turut membantu melancarkan hegemoni tersebut.

Menurut Laclau (2001),  proses hegemoni tidak  jauh dari konteks negara, dalam hal ini kelas penguasa. Relasi kuasa dari hegemoni menyelinap masuk ke dalam alat negara dalam melakukan dominasi kuasa, seperti menggunakan kekuatan militer, ekonomi dan politik sebagai suatu diskursus artikulasi politik. Implementasinya kemudian menghadirkan sebuah budaya di mana hegemoni turut dilancarkan masyarakat sebagai suatu konsensus.

Artinya, hegemoni dalam hal ini merupakan suatu relasi kuasa ketika masyarakat yang ditundukan (subordinasi) melakukan tugas-tugas sosial yang tidak alami (secara budaya). Dengan kata lain, sama sekali tidak memberi manfaat bagi mereka, namun menguntungkan kepentingan kelas penguasa secara eksklusif dalam upaya melanggengkan dominasi kuasa atas masyarakat itu sendiri.

Rasionalisasi Represivitas Aparat

Berangkat dari konstruksi relasi kuasa dan hegemoni tadi, maka akan mangarahkan kita pada suatu rasionalitas mengapa terjadi tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan negara dalam perjuangan warga Wadas.

Hal itu merupakan implementasi dari upaya penegasan dominasi kuasa mereka.

Bisa dilihat dari cara-cara yang dilakukan oleh negara melalui kekuasaan agresifnya yang  mencoba melakukan subjugasi terhadap mereka yang dianggap mengancam dan melawan stabilitas negara.

Melalui kekuasaan militer, sosial dan politik, mereka mulai menguasai semua lini. Menurut Laclau (2001), selain melalui kekuasaan yang agresif, mereka juga melakukannya dalam bentuk konsesus masyarakat secara kultural. Mayarakat menjadi aktor penting dalam legitimasi represivitas sehingga tindakan-tindakan agresif dianggap wajar dengan dibungkus stabilitas negara. Semua ini berdasar  pada proses hegemoni yang berorientasi terhadap dominasi kuasa.

Hal ini menjadi jawaban terkait bagaimana peran intelektual saat ini dengan jargon ‘independen’ yang sebenarnya merupakan bentuk relasi kuasa yang nyata.

Para Intelektual kini telah tersubordinasi oleh kelas penguasa dengan subjugasinya. Dengan dalih ‘independen’, para Intelektual tidak lebih dari bagian konsensus dalam suatu dominasi kuasa yang merupakan bagian utuh dari hegemoni.  Sikap para Intektual seringkali  ‘mencari aman’, sehingga patuh, tunduk dan bahkan menjadi bagian dari represivitas dengan melegitimasi situasi tersebut seolah-olah merupakan hal yang wajar.

Dengan dikuasainya semua lini, seperti intelektual, media hingga perspektif masyarakat, agenda negara dengan cara agresif tadi dapat dilakukan dengan mudah. Hal tersebut karena terdapat peran kultural yang memiliki relasi kuasa yang sama, yatiu menciptakan status quo. Agenda koersif negara yakni dengan melibatkan aparat kepolisian negara dan melalui konsensus masyarakat secara kultural yang dikonstruksi oleh media korporasi bahkan institusi pendidikan. [ar]

Irfan Hidayat

Seorang pendaki gunung yang hendak belajar menulis