in

KKJ Desak Polisi dan Perusahaan Media Usut Ancaman Pembunuhan Jurnalis Detikcom

SEMARANG (jatengtoday.com) – Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mendesak kepolisian dan perusahaan media mengusut kasus intimidasi, doxing, teror, dan ancaman pembunuhan terhadap salah satu jurnalis Detikcom.

Dalam kasus doxing yang menimpa jurnalis Detikcom ini belum ada informasi terkait upaya pelaporan dari manajemen Detikcom dan korban ke polisi. Maka dari itu, Komite Keselamatan Jurnalis mengingatkan kepada manajemen Detikcom.

“Keselamatan jurnalis merupakan tanggung jawab perusahaan. Membiarkan kasus ini tanpa ada upaya penegakan hukum akan membuat para pelaku kekerasan terhadap jurnalis tidak takut mengulangi hal serupa,” ungkap juru bicara Komite Keselamatan Jurnalis, Sasmito Madrim dalam rilis tertulis, Sabtu (30/5/2020).

Dikatakannya, penting bagi manajemen Detikcom untuk melaporkan kasus ini ke aparat penegak hukum dan memastikan perlindungan bagi korban dan keluarganya.

”Komite Keselamatan Jurnalis mendorong pemerintah melalui kepolisian untuk mengusut tuntas kasus ini, meskipun tidak ada laporan dari korban maupun manajemen Detikcom. Kasus kekerasan terhadap jurnalis bukanlah delik aduan sehingga tidak diperlukan laporan dari korban maupun manajemen,” ungkapnya.

Pihaknya juga meminta Dewan Pers untuk berperan aktif menuntaskan kasus kekerasan terhadap jurnalis Detikcom dan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis lainnya. Dalam setahun terakhir tercatat kurang lebih 53 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Ini sesuai dengan Pasal 15 ayat 2 huruf d Undang-undang Pers yang berbunyi, “Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.”

Dia menyerukan kepada masyarakat dan pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan untuk menempuh mekanisme yang telah diatur dalam Pasal 5 ayat 2 dan 3, juga Pasal 15 ayat 2 huruf d Undang-undang Pers yakni meminta Hak Jawab dan Hak Koreksi kepada redaksi perusahaan pers dan mengadu kepada Dewan Pers.

Menurut AJI Jakarta, kasus ini bermula ketika jurnalis Detikcom menulis berita tentang rencana Jokowi akan membuka operasional mal di Bekasi di tengah pandemi Covid-19. Informasi itu berdasarkan pernyataan Kasubbag Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi.

Namun pernyataan Kasubbag itu kemudian diluruskan oleh Kabag Humas Pemkot Bekasi, yang menyebut bahwa Jokowi hanya meninjau sarana publik di Kota Bekasi dalam rangka persiapan new normal setelah pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Klarifikasi itu pun telah dipublikasi Detikcom dalam bentuk artikel.

“Kekerasan terhadap penulis berita tersebut dimulai di media sosial. Nama penulis yang tercantum di dalam berita pun menyebar di internet, dari Facebook hingga Youtube. Salah satu akun yang menyebarkan adalah Salman Faris. Dia mengunggah beberapa screenshot jejak digital penulis untuk mencari-cari kesalahannya, meskipun isinya tak terkait berita yang dipersoalkan,” bebernya.

Selain itu, lanjut dia, Situs Seword juga melakukan hal serupa dan menyebarkan opini yang menyerang penulis dan media. “Cara ini dikenal sebagai doxing, yaitu upaya mencari dan menyebarluaskan informasi pribadi seseorang di internet untuk tujuan menyerang dan melemahkan seseorang atau persekusi online. Doxing adalah salah satu ancaman dalam kebebasan pers,” katanya.

Sejak 2018 ada lima kasus doxing jurnalis terkait pemberitaan, terutama di Jakarta. Tiga kasus doxing terjadi pada tahun 2018. Di antaranya, jurnalis Detik.com didoxing karena berita tentang pernyataan juru bicara Persaudaraan Alumni 212 Novel Bamukmin dan saat meliput peristiwa yang disebut “Aksi Bela Tauhid”.

Lalu jurnalis Kumparan.com dipersekusi karena tidak menyematkan kata ‘habib’ di depan nama Rizieq Shihab dalam beritanya. Kemudian doxing terhadap jurnalis CNNIndonesia.com terkait berita berjudul “Amien: Tuhan Malu Tak Kabulkan Doa Ganti Presiden Jutaan Umat”.

Satu kasus terjadi pada September 2019 yakni menimpa Febriana Firdaus, jurnalis yang melaporkan untuk Aljazeera. Febriana didoxing dan diteror karena pemberitaan terkait kerusuhan di Papua. Kemudian pada awal Januari 2020 doxing juga dialami oleh jurnalis Kompas.com, Jessi Carina terkait pemberitaan soal ‘Gubernur DKI Rasa Presiden’. “Tak satupun kasusnya yang diusut kepolisian,” katanya.

Komite Keselamatan Jurnalis beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yakni; Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). (*)

editor : tri wuryono

Abdul Mughis