SEMARANG (jatengtoday.com) – Sri Mulyati (43) mengaku hidup dan keluarganya menjadi berantakan sejak ia dipenjara selama 13 bulan karena peradilan sesat yang dialaminya. Akibatnya, ketiga anaknya harus putus sekolah dan salah satunya terpaksa menikah muda.
“Yang putus sekolah ada tiga. Dulu masih pada SMP. Itu anak nomor satu sampai dengan tiga. Kalau yang bungsu syukurnya masih sekolah, sampai sekarang,” ujarnya saat ditemui di tempat kerjanya, Jumat (8/3/2019).
Tiga dari empat anaknya yang memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi pendidikannya bukan tanpa alasan. Sebab, selepas Sri mendekam di penjara, tidak ada lagi yang mencari nafkah. Waktu itu, ke empat anaknya masih kecil. Sementara suaminya, Hendra Wijaya hingga kini hanya di rumah karena terkena diabetes.
“Pada keluar (sekolah) sendiri, soalnya gak ada yang membiayai. Boro-boro buat sekolah, makan saja kan susah,” imbuh Sri.
Penderitaan keluarga Sri tak berhenti sampai disitu. Selepas anak-anaknya putus sekolah sedangkan Sri belum bisa memperjuangkan haknya untuk bebas, akhirnya pergaulan anak tidak terurus. “Ya jadi berantakan karena tidak ada yang ngontrol,” keluhnya.
Akibatnya, mau tidak mau anaknya yang nomor 3 harus menikah di usia yang sangat belia. Saat itu baru berumur 14 tahun. Sedangkan anaknya yang kedua, menikah di usia 19 tahun, selepas Sri keluar dari penjara.
“Ya nikah muda itu termasuk dampak dari aku dipenjara. Anak kan jadi drop, nggak karuan, jadinya ya gitu,” cerita Sri sembari berkaca-kaca.
Kini, selepas diputus bebas tak bersalah oleh hakim, Sri mengaku harus membangun ekonomi keluarganya dari nol lagi. Sang tulang punggung keluarga tersebut banting tulang hingga harus bekerja maraton di tiga tempat sekaligus setiap harinya.
Dia bercerita, pukul 05.00 sampai 12.00 Sri bekerja di sebuah rumah makan. Selepas itu ia pindah menjadi pembantu rumah tangga di daerah Gombel hingga pukul 16.00. Kemudian, ia bekerja lagi di warung di Jalan Cimanuk V untuk menggoreng peyek sampai pukul 21.00.
“Setiap hari ya berangkat pagi terus, pulangnya juga malam terus. Kadang sampai jam 10 (malam). Kadang kalau banyak pesanan ya sampai pagi,” ujarnya.
Sri sebenarnya mengaku lelah. Rumah lhanya menjadi tempat singgah sementara. Waktunya dihabiskan untuk mencari nafkah demi menghidupi keluarganya. “Ya capek, tapi gimana lagi. Kalau nggak gini ya ntar gimana keluarga,” imbuh Sri.
Kisah pilu Sri berawal sejak 8 Juni 2011 silam ketika ia dituduh melakukan perdagangan anak di bawah umur di sebuah karaoke di Semarang. Padahal, disana Sri hanya seorang kasir yang merangkap sebagai resepsionis.
Meskipun begitu, Sri adalah satu-satunya orang yang ditangkap dalam penggerebekan itu–selain anak di bawah umur yang didapati sedang berada di lokasi. Bos dan manajernya bahkan tak ditangkap sama sekali.
Saat ditemui di rumahnya, Sri menjelaskan, dirinya menjadi satu-satunya tersangka dalam tuduhan tersebut. “Padahal aku tidak tahu apa-apa soal itu. Tugas saya sehari-hari ya cuma jadi kasir itu,” ujarnya,
Singkat cerita, Sri kemudian dinyatakan bersalah melalui putusan Pengadilan Negeri Semarang dan dijatuhi pidana penjara selama 8 bulan kurungan dan denda Rp 2 juta yang apabila tidak dibayarkan diganti kurungan selama 2 bulan.
Atas putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum banding yang membuat hukuman Sri bertambah menjadi 1 tahun 2 bulan dan denda Rp 2 juta.
Melalui kuasa hukumnya, yakni LBH Mawar Saron Semarang, Sri kemudian mengajukan upaya hukum Kasasi. Beruntung, upaya tersebut berbuah manis. Sri diputus tidak bersalah dan hanya sebagai korban salah tangkap.
Namun, selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan persidangan di pengadilan, Sri sudah telanjur merasakan dinginnya jeruji besi selama 13 bulan lebih. (*)
editor : ricky fitriyanto