in

Kisah Pilu Rahmadi Berjuang Mempertahankan Hidup, Terusir Akibat Proyek Normalisasi BKT

SEMARANG (jatengtoday.com) – Nasib baik nampaknya tidak berpihak pada Rahmadi, warga Kampung Tambakrejo. Di tengah masifnya pembangunan infrastruktur Kota Semarang, ia terpaksa harus tersingkirkan, lalu berusaha secara mandiri mempertahankan hidup dan tempat tinggalnya dari penggusuran.

Rahmadi merupakan orang yang dituakan di kampungnya di Kelurahan Tanjung Mas, RT 5 RW XVI, Kecamatan Semarang Utara. Orang-orang menyebutnya sebagai Ketua RT Kampung Tambakrejo, meskipun dalam nomenklatur sebenarnya tidak dianggap sebagai RT.

Ia mengaku hidup di antara ketidakpastian, di tengah kerasnya kehidupan Kota Lunpia.

Kisah pilunya berawal dari adanya rencana normalisasi sungai Banjir Kanal Timur (BKT). Rumahnya yang masuk dalam wilayah bantaran sungai, terpaksa kena imbasnya. Ia harus direlokasi demi kelancaran proyek yang digadang-gadang sebagai solusi masalah banjir kota.

Tentunya Rahmadi tidak sendiri. Ada ratusan warga di kampungnya yang juga bernasib sama. Total, ada 167 kepala keluarga (KK) yang terdampak. Dari jumlah tersebut, kata Rahmadi, ada yang pindah ke Rusunawa Kudu Blok H, sesuai arahan pemerintah setempat. Namun ada pula yang memilih bertahan.

“Sebagian memang ada yang memilih bertahan di sini. Jumlahnya sekitar 97 KK. Termasuk saya. Lainnya, 70 KK milih pindah,” ujarnya, Minggu (7/4/2019).

Menurut Rahmadi, warga yang masih memperjuangkan tempat tinggalnya bukan tanpa alasan. Salah satunya karena rumah-rumah di kampung tersebut sudah berdiri sejak tahun 1983 dan dibangun dengan biaya tidak sedikit. Karena itu, pihaknya tidak mau jika harus digusur semena-mena.

Ia juga menolak tawaran untuk direlokasi jika tempat relokasinya di Rusunawa Kudu yang berada di Kelurahan Karangroto, Kecamatan Genuk. Tempat tersebut dinilai terlalu jauh dari laut, mengingat mata pencaharian warga Tambakrejo mayoritas adalah nelayan.

“Jadi yang masih bertahan ini, rata-rata adalah nelayan. Kalau di Rusunawa Kudu jauh banget. Penghasilan laut aja tak seberapa, masa iya masih harus dikurangi untuk biasa bensin,” imbuhnya.

Setelah proses panjang, akhirnya ditemukan titik terang. Berkat mediasi yang digagas oleh Komnas HAM, semua bisa menerima dengan klausul yang saling diberikan. Warga akhirnya bersedia pindah, tetapi pemerintah berkewajiban membangun rusunawa baru yang dekat dengan pantai.

Warga terdampak juga diberi kompensasi Rp 1,5 juta per-KK untuk pindah dan membongkar rumahnya. Meskipun jumlahnya tak seberapa, kata Rahmadi, itu sudah lumayan, daripada tidak diberi sama sekali, sebagaimana warga yang sudah lebih dulu bersedia pindah.

“Walaupun tidak seberapa, minimal itu merupakan jalan terbaik yang disepakati bersama,” jelasnya.

Pasca itu, ujarnya, pemerintah berjanji akan membangun rusunawa di Kampung Tambaklorok pada 2020 mendatang. Sebelum proses pembangunan rusunawa, sekitar 97 KK yang kini masih bertahan akan direlokasi sementara di sekitar Kalibanger, disitu bakal dilakukan pengurukan.

“Dulu janjinya Kalibanger akan diuruk, dan ditempati kami, dengan catatan kami tidak diusik sampai pembangunan rusunawa di Tambaklorok selesai,” ungkap Rahmadi.

Namun, ia menyayangkan karena hingga saat ini, proses pengurukan berhenti. “Kami sudah bersedia pindah tapi hingga saat ini kami pun menunggu tempat relokasi sementara selesai diuruk. Hampir dua bulan pengurukan tidak dilanjutkan karena kendala hujan dan yang lainnya,” ucapnya.

Padahal semula Rahmadi mengira, pengurukan akan selesai awal tahun 2019 ini. Ia khawatir, kalau di sini berlarut-larut, nanti akan menjadikan masalah lagi untuk warga. Sebagaimana diketahui, uang santunan sebesar Rp 1,5 juta sudah lama diberikan. “Uang itu mungkin sekarang sudah habis, untuk mbayar kos atau untuk ngontrak,” terkanya.

Dia berharap Pemkot Semarang benar-benar memikirkan nasib mereka yang harus tergusur proyek normalisasi. Pasalnya ia melihat tidak ada keseriusan dari pemerintah. Kami sudah mengajukan permohonan jawaban dari pemerintah terkait berhentinya pengurukan, tetapi hingga saat ini belum ada jawaban,” keluhnya.

Kini, Rahmadi dan puluhan warga lain dihantui berbagai ketidakpastian. Disamping lahan relokasi sementara yang tak segera dilanjutkan, janji pembangunan rusunawa di Tambaklorok sebagai rumah tetap, juga tak ada yang berani menjamin. (*)

editor : ricky fitriyanto