SEMARANG (jatengtoday.com) – Atmosfer politik nasional mulai menghangat menjelang pendaftaran paslon presiden. Tebak-tebakan mengenai sosok pendamping Joko Widodo mulai santer. Publik semakin tak sabar menunggu siapa nama calon wakil presiden yang akan mendampingi calon petahana itu.
Lantas, siapa saja nama-nama yang kuat disebut dan sedang diutak-atik mendampingi Jokowi?
Direktur Ekskutif Indonesian Public Institute, Karyono Wibowo menilai, membicarakan wakil Jokowi memang lebih asyik daripada menebak siapa yang bakal menjadi lawan petahana.
“Sebelum membuat keputusan yang tepat tentang pasangan calon perlu memperhatikan aspek elektabilitas, akseptabilitas, kapabilitas, integritas, loyalitas dan rekam jejak,” jelasnya, Senin (16/7).
Menurutnya, tingkat elektabilitas menjadi pertimbangan utama. Misalnya, seberapa besar kontribusi masing-masing tokoh dalam menyumbang kenaikan suara. “Dalam preferensi pilihan cawapres pendamping Jokowi boleh dikatakan belum ada yang terlalu menonjol dalam menaikkan suara selain figur Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto,” tuturnya.
Nama-nama selain JK dan Prabowo, memang belum ada yang paling menonjol dan signifikan menambah suara di tingkat nasional. Tapi dalam semua simulasi pasangan capres jika dilihat berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga, posisi elektabilitas Jokowi ketika dipasangkan dengan beberapa nama, tetap masih tinggi. Seperti Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, Airlangga Hartarto, Moeldoko, Mahfud MD, hingga TGB Zaenul Majdi.
“Kalau Jokowi dipasangkan dengan nama-nama itu, elektabilitasnya tetap masih tertinggi dibanding pasangan calon presiden yang lain,” imbuhnya.
Karena itu, lanjutnya, aspek elektabilitas tidak terlalu menghawatirkan bagi Jokowi, asalkan figur cawapresnya tidak terlalu parah track record-nya. Selain itu, figur yang menjadi calon wakil presiden Jokowi harus bisa diterima, tidak hanya oleh masyarakat, tapi harus bisa juga diterima oleh partai koalisi.
Memilih figur yang bisa diterima semua pihak ini yang tidak mudah bagi Jokowi. Pasalnya, masing-masing partai punya kepentingan mengelola berbagai kepentingan partai agar tetap solid.
“Inilah tantangan bagi Jokowi. Tantangan penting lainnya bagi Jokowi adalah memilih figur yang memiliki loyalitas, dan bisa bekerjasama dengan baik. Aspek ini penting agar tidak terjadi konflik, sehingga pemerintahan bisa berjalan baik. Kalau soal kapabilitas dan integritas dari nama-nama yang muncul di publik pasti ada plus minusnya,” paparnya.
Belakangan, beberapa nama menguat menjadi kandidat cawapres. Kebanyakan dari kalangan agamis. Mulai dari Mahfud MD dari kalangan non partai yang juga intelektual muslim, Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) yang juga dikenal sebagai tokoh islam. Hanya Moeldoko yang berlatar belakang militer, mantan panglima TNI yang dinilai loyal dan low profile.
Bahkan muncul juga sejumlah ulama seperti KH. Ma’ruf Amin, KH. Said Aqil Siraj dan KH. Nasaruddin Umar. Selain itu, dari kalangan partai politik yang santer disebut-sebut adalah Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PKB, Cak Imim. Nama Puan Maharani juga disebut, meski tidak terlalu santer.
Dijelaskan Karyono, memilih pendamping Jokowi juga perlu memertimbangkan realitas isu yang berkembang. Seperti menguatnya isu politik identitas yang mengandung unsur SARA dan isu militer vs sipil. Karena faktanya, pesaing Jokowi saat ini ada beberapa nama yang berlatar belakang militer. Sebut saja Prabowo Subianto, Gatot Nurmantyo dan Agus Harimurti Yidhoyono yang kerap disapa AHY. Dan publik juga mengetahui, di belakang tiga nama itu bertaburan mantan perwira militer.
“Realitas itu tidak terbantahkan, karenanya, jika kita perhatikan sejumlah nama-nama cawapres Jokowi yang menguat saat ini mencerminkan kedua isu tersebut,” terangnya.
Dari kacamatanya, menguatnya figur-figur seperti TGB, Mahfud MD, Cak Imin, dan sejumlah ulama dalam beberapa hari ini menunjukkan ada kecenderungan ‘Kekuatan Islam’ menjadi kata kunci dalam konfigurasi posisi cawapres Jokowi. “Itu berdasarkan realitas politik kekinian, dimana politik identitas menjadi instrumen dalam kontestasi elektoral dan diyakini memiliki pengaruh di tingkatan pemilih,” tambahnya.
Meski begitu, dalam memaknai ‘Kekuatan Islam’ tersebut bisa menggunakan dua perspektif. Pertama, kekuatan Islam yang merujuk pada figur berlabel Islam yang memiliki basis pendukung Islam. Kedua, bisa merujuk pada tokoh yang beragama islam tapi tidak berlabel sebagai tokoh Islam, tetapi dekat dan didukung ulama dan umat Islam. Artinya, yang menjadi kata kunci sejatinya adalah dukungan umat Islam mayoritas.
“Sekarang tinggal tergantung Jokowi dan partai politik yang bakal mengusungnya untuk memilih cawapres dengan pertimbangan dan analisa yang tepat,” katanya. Menurut dia, semua memiliki kelebihan dan kekurangan. Tinggal membuat skor atau rumus yaitu siapa tokoh yang memiliki skor terbaik dari semua kriteria. (ajie mh)
editor: ricky fitriyanto