in

Kearifan Lokal Jadi Rahasia Ekonomi Warga Karimunjawa Tak Ambruk Diterjang Pandemi

JEPARA (jatengtoday.com) – Badai pandemi Covid-19 menerjang nyaris semua sektor. Ekonomi, pariwisata, bahkan pendidikan ikut kalang-kabut. Hampir seluruh dunia merasakannya. Tapi ternyata, ada satu daerah yang tidak terdampak. Daerah itu bernama Karimunjawa.

Pulau Karimunjawa memang dikenal sebagai wisata air ternama di Kabupaten Jepara. Saat pandemi menyerbu, pulau di utara Jawa tersebut langsung diisolasi. Tidak ada satu pun pelancong yang diizinkan masuk. Kapal-kapal penyeberangan yang biasa ditumpangi wisatawan semua diliburkan. Hanya ada ferry untuk menyuplai logistik atau kebutuhan warga karimun.

Memang, saat itu, Karimun sepi wisatawan. Geliat pariwisata sama sekali tidak tampak. Meski begitu, ekonomi tidak hancur begitu saja. Warga asli yang beberapa tahun belakangan mengandalkan pemasukan dari sektor pariwisata tetap bisa eksis.

Kuncinya, menerapkan Jogo Tonggo yang sebenarnya sudah menjadi kearifan lokal warga Karimunjawa. Konsep Jogo Tonggo sepertinya sudah diterapkan sejak Pulau Karimunjawa belum terendus sebagai surga wisata laut.

Ketika potensi wisata belum dikembangkan, kehidupan masyarakat Karimun sarat kearifan lokal. Mengisi perut dengan ikan laut yang mengelilingi pulau. Itu pun ada aroma gotong-royong. Karena yang tidak bisa melaut, bisa karena sudah tua atau sedang sakit, mendapat bagian hasil tangkapan tetangga. Maklum, nyaris semua warga di sini masih ada hubungan darah.

“Rasanya pandemi tidak terasa di Karimun. Memang jadi sepi karena tidak ada pengunjung yang biasanya pada kumpul di Alun-alun setiap malam Minggu. Tapi kalau secara ekonomi, sepertinya tidak begitu terasa,” ucap salah satu warga Karimunjawa, Ahmad Sofi’i, Jumat (6/11/2020).

Meski begitu, dia memerkirakan, investor-investor besar dari luar yang membuka usaha di Karimunjawa merasakan dampak pandemi. Hotel dan restoran tutup semua. Para karyawan yang kebanyakan merupakan warga asli Karimun dirumahkan.

Lantas, bagaimana nasib mereka yang dirumahkan? Sofi’i menegaskan, mereka tetap bisa bertahan hidup. Sebab, kebutuhan di pulau tersebut tidak banyak. Asal bisa makan, sudah cukup.

Mereka kembali menjadi nelayan. Yang tak punya perahu, tetap punya kesempatan melaut. Ya, karena jika hanya pemilik perahu saja yang melaut, tidak akan bisa menangkap ikan secara maksimal.

Warga juga biasa memanen rumput laut di sekitar pantai. “Tuhan Maha Adil. Pas kondisi seperti ini, ndilalah rumput lautnya tumbuh banyak. Pernah kemarin sampai tiga ton. Kalau rumput laut ini sudah kerjasama dengan salah satu perusahaan. Jadi berapa pun hasil panen, pasti dibeli. Harganya Rp 1.300 per kilogram,” paparnya.

Lebih lanjut, dia menuturkan, sebenarnya ekonomi di Karimunjawa sangat simpel. Uang hanya untuk membeli kebutuhan logistik yang dikirim dari Jepara menggunakan kapal ferry.

“Karena di sini tidak ada iming-iming hiburan seperti di darat (di luar Karimun, Red). Jadi, makan dari hasil tangkapan laut sudah bisa. Ini jadi seperti mbah-mbah dulu sebelum Karimun jadi destinasi wisata,” ucap pria yang juga membuka biro perjalanan wisata Karimunjawa ini.

Dia mengajak membayangkan kehidupan orang Karimunjawa zaman dulu. Ketika belum ada SPBU Pertamina mangkal di sini. Boro-boro ada kebijakan BBM Satu Harga dari Presiden Jokowi.

“Dulu, bensin di darat Rp 6 ribuan, di sini sudah Rp 12 ribuan. Dua kali lipat. Itu pun menunggu kiriman dari darat. Tapi toh tidak masalah. Warga tetap bisa memenuhi kebutuhan,” jelas mantan Ketua PAC Ansor Kecamatan Karimunjawa ini.

Mengenai antisipasi Covid-19, Karimunjawa sudah punya Satgas Covid-19 di setiap kecamatan. Saat Karimun ‘diisolasi’ agaknya Satgas tetap bekerja. Utamanya memberikan edukasi mengenai Covid-19 dan protokol kesehatan.

“Memang tidak ada yang masuk ke Karimun. Tapi sejak awal pandemi, kami selalu menerapkan protokol kesehatan untuk berjaga-jaga. Bahkan, saat MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengimbau untuk tidak menggelar salat Jumat, kami mematuhinya. Tapi hanya sekali tidak menggelar salat Jumat,” ucap Camat Karimunjawa, Nor Soleh.

Was-was ketika Wisata Mulai Dibuka

Selama penyeberangan penumpang ditutup, tidak ada kekhawatiran mengenai kasus Covid-19. Tapi mulai 16 Oktober 2020 lalu, kekhawatiran mulai muncul. Pemkab Jepara memutuskan untuk kembali membuka Karimunjawa untuk para pelancong.

Meski protokol kesehatan sudah diterapkan sejak di pelabuhan Jepara, risiko ‘kecolongan’ tetap ada. Sebab, di pelabuhan, hanya dicek suhu dan keterangan bebas Covid-19 hasil rapid test. Bukan swab.

Jika benar-benar kecolongan, dan Karimunjawa menjadi klaster baru Covid-19, bisa dibayangkan akan sangat merepotkan. Pertama, karena fasilitas kesehatan di tempat itu tidak begitu lengkap. Kepanikan masyarakat pun akan muncul.

“Tapi sejak awal, kami sudah menyediakan tempat karantina bagi warga yang baru datang (dari luar Pulau Karimunjawa). Tapi kalau untuk wisatawan, tidak bisa karena akan memakan waktu,” terangnya.

Karena itu, pihaknya berharap, biro wisata bisa memberikan data wisatawan yang dibawa. Termasuk di mana para tamu menginap dan di mana saja mereka berwisata selama di Karimunjawa.

Data tersebut dirasa akan sangat berguna jika nantinya muncul kasus Covid-19. Yakni untuk penelusuran. “Jadi tempat-tempat yang pernah dikunjungi tamu yang terpapar Covid-19 akan langsung dilacak. Apakah pernah kontak dengan warga sekitar, atau dengan siapa saja, jadi mudah penelusurannya,” paparnya.

Sejak Pulau Karimunjawa dibuka, memang belum ditemukan adanya wisatawan yang tidak mematuhi protokol kesehatan.

“Petugas juga tidak mungkin mengawasi semua wisatawan karena hingga kini belum mengetahui data wisatawan secara detail, termasuk tempat menginapnya,” jelasnya.

Beruntung, sosialisasi dan edukasi mengenai Covid-19 sudah dilakukan sejak awal pandemi. Artinya, warga Karimun bisa dibilang sudah siap. Warga juga diminta saling menjaga dan mengingatkan. Juga kepada wisatawan untuk selalu menerapkan protokol kesehatan.

Terkait penerapan protokol kesehatan di hotel, dia mengakui tidak mengkhawatirkan. Sebab dari organisasi mereka juga cukup peduli dalam memerangi Covid-19. Sedangkan untuk pemilik homestay yang dikelola secara personel harapannya juga tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat.

Selain itu, Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Jateng juga memberikan 1000 masker dan face shield kepada para pelaku pariwisata, 16 Oktober 2020 lalu.

Sementara itu, Kepala Disporapar Jateng, Sinoeng Nugroho Rachmadi menuturkan, pihaknya sudah menimbang matang-matang untuk membuka Karimunjawa. Risiko penyebaran Covid-19 sudah sangat diperkecil. Bahkan, ada pembatasan jumlah pengunjung setiap pekan.

Pembatasan pengunjung, bukan dihitung dari ketersediaan penginapan, atau luas Pulau Karimunjawa. Tapi berdasarkan kapasitas tempat duduk kapal cepat untuk penyeberangan dari Jepara.

“Kami batasi, 50 persen dari kapasitas kapal. Jumlahnya 100 penumpang. Jadi di dalam kapal, mereka sudah bisa jaga jarak. Tempat duduk penumpang sudah diberi tanda silang agar tidak diduduki untuk menjaga jarak,” paparnya.

Jumlah pengunjung yang dibatasi ini justru menjadi masalah baru. Pegiat pariwisata yang seolah mendapat angin segar untuk meraup keuntungan dari wisatawan harus berebut tamu. Ya, mereka terpaksa berbagi potongan tamu yang hanya 100 orang saja.

Jumlah 100 orang itu jelas bukan apa-apa dibanding sebelum pandemi yang mencapai ribuan pelancong.

Menanggapi rebutan tamu tersebut, Anggota Komisi B DPRD Jateng, Andang Wahyu Trianto meminta pegiat wisata di Karimunjawa sedikit bersabar. Sebab, untuk menaikkan batasan pengunjung perlu evaluasi ketat.

“Tidak bisa semudah itu menambah batasan jumlah pengunjung. Karena pembatasan itu sudah dihitung sebelumnya. Jika mau ditambah, perlu ada kajian lagi. Jangan gegabah. Khawatirnya, malah nanti jadi klaster baru,” tandasnya. (*)

editor: ricky fitriyanto