SEMARANG (jatengtoday.com) — Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Semarang berhasil menyelesaikan kasus penganiayaan ringan dengan mekanisme restorative justice yakni penghentian penuntutan sebelum sampai ke pengadilan.
Tersangka dalam kasus ini adalah JAH sedangkan korbannya berinisial DS. Keduanya merupakan pasangan kekasih yang sama-sama bekerja sebagai pegawai honorer di Satpol PP Kota Semarang.
Kepala Kejari Kota Semarang Transiswara Adhi mengatakan, dari awal pihaknya berupaya agar kasus pidana ringan ini bisa dilesesaikan secara kekeluargaan.
Setelah melalui proses panjang, tersangka dan korban akhirnya sepakat berdamai pada 13 Januari 2022. Perdamaian difasilitasi langsung oleh Kajari Adhi bersama Kasi Pidum Edy Budianto dan jaksa fasilitator Gilang Prama Jasa.
Proses mediasi itu dihadiri oleh keluarga dari kedua belah pihak, penyidik, atasan tersangka di Satpol PP Kota Semarang, serta tokoh masyarakat.
Kejari Kota Semarang menjadikan kesepakatan damai untuk mengajukan restorative justice. Jampidum Kejaksaan RI pun menyetujui pengajuan Penghentian Penuntutan tersangka Jarot.
“Restorative justice kami akhirnya dikabulkan Kejaksaan RI. Eskpose perkara baru tadi pagi tadi, acaranya daring,” ujar Kajari, Kamis (20/1/2022).
Kajari menjelaskan, perkara penganiayaan tersebut terjadi pada 14 Oktober 2021 sekitar pukul 15.30 WIB di kantor Satpol PP Kota Semarang.
Tersangka melakukan penganiayaan kepada korban karena terbakar api cemburu. Akibatnya, korban mengalami luka di pergelangan lengan atas kanan dan sempat dirawat selama dua hari di rumah sakit.
Dalam kasus ini, tersangka sebenarnya dijerat Pasal 351 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana 2 tahun 8 bulan penjara. Namun, kini ia tak perlu diadili di pengadilan asalkan memenuhi kesepakatan perdamaian.
Isi kesepakatan itu antara lain, tersangka mengakui kesalahannya, mengembalikan cincin yang dibelikan korban, mengganti biaya rumah sakit, tidak mengganggu kenyamanan korban, serta berjanji tak akan mengulangi perbuatannya.
Kasi Pidum Kejari Kota Semarang Edy Budianto menambahkan, tidak semua perkara pidana bisa diselesaikan dengan mekanisme restorative justice.
Berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020, perkara yang bisa diselesaikan dengan mekanisme restoraive justice harus memenuhi beberapa syarat.
Adapun pertimbangan dilakukannya restorative justice perkara ini adalah, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana kurang dari 5 tahun, serta adanya perdamaian antara korban dan tersangka. (*)
editor : tri wuryono