SEMARANG – Penentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Kota Semarang diharapkan mampu mengakomodir pengusaha dan buruh. Sebab, mereka punya hitungan sendiri dalam menentukan kenaikan UMK tahun depan. Pengusaha menggunakan formula Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015, yakni menjadi Rp 2,3 juta. Sementara buruh menggunakan hitungan hasil survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang hasilnya Rp 2,7 juta.
Selisih Rp 400 ribu itu, bisa menjadi perdebatan panjang. Karena itu Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang, Joko Santoso mewanti-wanti agar pemkot bijak untuk menentukan besaran UMK.
Menurutnya, penentuan besaran UMK tersebut akan memengaruhi kondusivitas perekonomian ke depan. Jika upah buruh terlalu kecil juga merugikan rakyat kecil, tapi jika upah tinggi juga akan berdampak terhadap pengusaha. Sehingga perlu kajian dalam penentuan nilai tersebut agar tidak merugikan salah satu pihak.
“Tentu, kami berharap agar penentuan besaran UMK 2018 ini berdasarkan jalan tengah. Jangan sampai merugikan di salah satu pihak,” katanya.
Di lain pihak, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jateng, Wika Bintang menjelaskan, saat ini pihaknya masih mengumpulkan usulan kenaikan UMK dari seluruh kabupaten/kota di Jateng. Nantinya, usulan itu akan diserahkan ke Dewan Pengupahan untuk diputuskan berapa kenaikan UMK tahun 2018.
“Memang sudah ada aturannya di PP 78/2015. Tapi kami tetap mengakomodir usulan dari daerah. Maksimal tanggal 21 November 2017, UMK sudah ditetapkan Pak Gubernur,” tegasnya. (ajie mh)