in

Ironis, Makam Wali di Semarang Ini Tenggelam Dikepung Prostitusi

SEMARANG (jatengtoday.com) – Kota Atlas menyimpan banyak catatan sejarah menarik yang luput dari ingatan. Bahkan sejarah itu nyaris hilang ditelan peradaban. Salah satunya adalah makam tokoh wali penyebar agama Islam di Bukit Pekayangan, Jalan Sri Kuncoro 1 RT 6 RW 2, Kelurahan Kalibanteng Kulon.

Makam tersebut adalah peristirahatan terakhir seorang tokoh yang memiliki nama Soen Ang Ing. Lidah Jawa menyebutnya dengan Sunan Kuning. Ia juga memiliki nama lain Raden Mas Garendi. Soen Ang Ing adalah sosok penyebar agama Islam yang berasal dari daratan Tiongkok. Konon ia berpindah-pindah tempat untuk mengemban misi dakwah di Indonesia, sebelum akhirnya wafat dan dimakamkan di Semarang.

Hingga sekarang, makam Soen Ang Ing masih terjaga rapi dan terawat. Tetapi di sisi lain menjadi ironi yang menyedihkan. Sebab, masyarakat kebanyakan di Kota Semarang justru menyebut dan mengenal Sunan Kuning sebagai tempat prostitusi yang fenomenal.

Menyebut kata ‘Sunan Kuning’ (SK) cenderung terlintas di benak orang awan –dalam perkembangan sekarang, adalah tempat para wanita seksi berpakaian rok mini. Memang, makam ini dikepung pemukiman yang sarat dengan praktik prostitusi.

Makam Sunan Kuning dengan Lokalisasi Argorejo sebenarnya terpisah, yakni kurang lebih berjarak 50 meter di sebelah barat, dengan diberi pembatas portal besi. Pembatas portal besi tersebut sekaligus sebagai penanda bahwa perkampungan di Jalan Sri Kuncoro 1 RT 6 RW 2, Kelurahan Kalibanteng Kulon, Semarang Barat, merupakan permukiman normal atau tidak ada praktik prostitusi.

Untuk menuju ke makam Sunan Kuning memang harus melewati permukiman atau gang-gang Lokalisasi Argorejo. Permukiman padat penduduk yang setiap rumah digunakan sebagai wisma hiburan malam, karaoke dan kamar-kamar servis plus. Kala malam hari tiba, di depan rumah-rumah tersebut banyak wanita yang siap menyambut lelaki mata keranjang.

Setelah memasuki Gang Sri Kuncoro 1, terdapat gang kecil dengan dilengkapi gapura tembok warna putih. Kemudian ada jalan ‘undak-undakan’ untuk mendaki bukit kecil. Di sekelilingnya terdapat pemakaman milik warga bernama Makam Tepis Wiring. Sedangkan makam Soen Ang Ing berada di atas bukit yang terdapat gapura kedua dengan arsitektur khas Tiongkok.

Meski dikelilingi pemakaman, lokasi tersebut tidak terkesan angker. Sebab, di atas bukit tersebut terdapat beberapa bangunan. Bahkan ada penjaga yang menghuni. Bahkan peziarah yang datang bisa menginap di salah satu rumah tersebut.

Sedangkan bangunan utama dilengkapi dengan pendopo terdapat tiga makam, yakni Makam Soen Ang Ing, serta dua makam dengan tulisan Sunan Kalijaga dan makam Sunan Ambarawa atau Syekh Maulana Maghribi Kendil Wesi.

Ketiga situs makam tersebut dilengkapi rumah-rumahan kecil dengan kelambu warna merah khas ornamen Tiongkok. Sedangkan di tembok terpampang gambar dilengkapi silsilah Walisongo.

Sedangkan di bangunan lain terdapat tiga makam, tertulis nama Kiai Sekabat, Kiai Djimat, dan Kiai Modjopahit. Konon, ketiganya merupakan murid sekaligus pembantu setia Sunan Kuning.

Juru kunci makam Soen Ang Ing, Sutomo (68) menjelaskan makam Soen Ang Ing kali pertama ditemukan oleh seorang tokoh bernama Eyang Saribin. “Tidak ada catatan secara persis mengenai tahun berapa makam ini ditemukan. Namun pertama kali ditemukan oleh Eyang Saribin sebelum kemerdekaan Indonesia,” katanya.

Dijelaskannya, Eyang Saribin kala itu merupakan tokoh yang ‘dituakan’ dan memiliki banyak murid. Lokasi makam dibangun pertama kali 1937, dibiayai oleh seorang wanita pengusaha bermata sipit, Siek Sing Kang yang tinggal di Solo. Kemudian pada 1997 dan 1998 kembali direhab oleh Liem Tjong Tat, warga yang tinggal di Wotgandul Barat, Kawasan Pecinan, Kota Semarang.

Diceritakannya, sejarah awal penemuan makam bermula saat Eyang Saribin kala itu sedang kehilangan hewan kerbau sebanyak enam ekor. “Sudah dicari ke mana-mana tidak ditemukan. Bahkan Eyang Saribin telah mencari hingga keluar daerah. Tapi tidak ditemukan,” katanya.

Selama kurang lebih tujuh hari, pencarian kerbau tersebut tidak menuai hasil. Hal itu membuat Eyang Saribin nyaris putus asa. Sebab, Eyang Saribin sejauh ini dikenal sebagai orang yang memiliki ilmu ‘linuwih’. Tetapi untuk sekadar mencari kerbau sendiri yang hilang saja ia tidak bisa.

“Eyang Saribin kemudian menyendiri di sebuah bukit Pekayangan yang terletak di Semarang. Tepatnya di bawah pohon kepoh, Saribin bersemedi,” katanya.

Dulu, tempat tersebut dikenal sangat wingit. “Bahkan istilah Jawanya ‘jalmo moro jalmo mati, tiyang mlebet mriki mboten bersih, mboten suci pikirane, wangsul sakit, sedo. (Orang masuk di sini, kalau tidak memiliki pikiran bersih dan suci, pulang sakit dan meninggal),” katanya.

Saat semedi, Saribin didatangi suara kereta kencana. Tetapi tidak kelihatan wujudnya. Kemudian Saribin mendengar suara “Ngger ojo susah, kebomu tak cancang neng wit kesambi”. (Nak, tidak perlu susah, kerbaumu saya tambatkan di pohon Kesambi). Tak lama kemudian kerbaunya ditemukan.

“Sejak saat itulah, Eyang Saribin kemudian berinisiatif membersihkan semak-semak dan rumput. Ia menemukan gundukan-gundukan menyerupai batu yang kemudian dipercaya sebagai makam Soen Ang Ing dan para pengikutnya dengan jumlah enam makam,” kata warga Jalan Sri Kuncoro 1 RT 6 RW 2 nomor 18 Kelurahan Kalibanteng Kulon, Semarang Barat itu.

Dengan cara tirakat, Eyang Saribin berusaha mencari silsilah tokoh yang dimakamkan di tempat tersebut sebelum akhirnya meyakini bahwa tokoh yang dimakamkan di bukit itu salah satunya adalah Soen Ang Ing. “Beliau seorang tokoh penyebar Islam berasal dari tanah Tiongkok. Nama Jawanya Raden Mas Garendi, bapaknya namanya Eyang Probo Kadilangu Demak,” katanya.

Dalam perkembangannya, banyak peziarah datang dari berbagai penjuru. Baik dari Kalimantan, Jawa Timur, Pasuruan, Jombang, Kediri, Surabaya dan lain-lain. “Cerita itu dipercaya secara turun temurun yang diwariskan nenek moyang,” katanya.

Makam ini juga tercatat pernah diteliti oleh seorang pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dian Nuswantoro Semarang,
Akhriyadi Sofian. Ia meneliti sejarah perkembangan Sunan Kuning dari tahun 1966 hingga 1984.

Tidak hanya itu, penulis Remy Silado dalam buku 9 Oktober 1740: Drama Sejarah, dalam catatan seorang Tionghoa di Semarang, Liem Thian Joe, juga menyebut bahwa Sunan Kuning memiliki nama populer Raden Mas Garendi.
Sunan Kuning berasal dari kata cun ling (bangsawan tertinggi) merupakan salah satu tokoh yang berperan penting dalam peristiwa Geger Pacinan (1740-1743). Dalam Geger Pacinan 1740-1743, Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC, R.M. Daradjadi menyebut Raden Mas Garendi bersama Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawan sengit terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram. Perlawanan ini disebut sebagai pemberontakan terbesar yang dihadapi VOC selama berkuasa di Nusantara.

Para pemberontak Jawa-Tionghoa menobatkan Raden Mas Garendi sebagai raja Mataram bergelar “Sunan Amangkurat V Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama” pada 6 April 1742 di Kabupaten Pati Jawa Tengah. Ketika itu, cucu Amangkurat III yang dibuang VOC ini baru berumur 16 tahun –sumber lain menyebut 12 tahun. Dia pun dianggap sebagai “Raja Orang Jawa dan Tionghoa”.

Mengapa makam tokoh besar ini bergeser atau lebih dikenal sebagai lokalisasi? Menurut Sutomo, munculnya praktik prostitusi di kawasan tersebut diperkirakan di kisaran 1966 silam dan dinamakan Lokalisasi Argorejo.

“Menurut para pendahulu, pada 1967, pergeseran itu bermula saat ada insiden Pak Camat membunuh mantu. Jenazahnya disandarkan di kuburan. Kejadian itu heboh, banyak wanita pekerja seks melihat di lokasi. Wartawan memotret kejadian itu dan berita yang keluar ‘Pembunuhan di Sunan Kuning” yang terlihat banyak WTS. Sejak itu, nama Sunan Kuning bergeser,” kata dia.

Pada saat kejadian itu, juru kunci makam Soen Ang Ing adalah ayahnya Sutomo. Ia sendiri saat itu masih kecil.

Sementara itu, Ketua Resosialisasi Argorejo atau Lokalisasi Sunan Kuning Semarang, Suwandi, mengatakan saat ini terdapat sebanyak 177 wisma karaoke, 158 mucikari dan 488 wanita pekerja seks komersial (PSK) tersebar di 6 RT. Bahkan lokalisasi ini memiliki omzet transaksi uang tak kurang Rp 500 juta per-hari atau Rp 15 miliar setiap bulan.

Tidak hanya itu, kampung ini juga mampu menyedot tenaga kerja cukup banyak, yakni mempekerjakan 240 operator, puluhan tukang laundry, toko kelontong, dan ratusan pedagang kaki lima (PKL) mencari nafkah di tempat tersebut.

Lokalisasi ini beroperasi pertama kali pada 1966 silam. “Pernah ditolak warga dan sempat ditutup pada 1983. Namun kemudian pindah ke daerah Pudakpayung. Dulu masyarakat menutup diri untuk praktik prostitusi. Pasca ditutup, Argorejo bersih dan kosong. Mereka pindah ke daerah Pudakpayung,” katanya.

Beberapa tahun kemudian, lokalisasi di Pudakpayung itupun ditolak warga setempat dan mereka kembali dibubarkan. Dampaknya saat itu, para kupu-kupu malam justru berkeliaran di sudut-sudut perkotaan. “Penutupan lokalisasi tersebut tidak diikuti dengan solusi baik. Sehingga para wanita pekerja seks komersial itu malah ucul di perkotaan. Banyak yang berkeliaran di tepi jalan,” katanya.

Pada 1993, Pemerintah Kota (Pemkot) kala itu masa pemerintahan Wali Kota Semarang, Sutrisno Suharto, memberi kebijakan baru. Para PSK yang berkeliaran di sudut perkotaan dikembalikan ke Argorejo agar tidak mengganggu ketertiban. Keberadaan lokalisasi ini lebih ditata karena dilakukan pendampingan dan pembinaan.

Pada tanggal 19-21 September 2003 dalam sebuah seminar, lokalisasi ini resmi dijadikan tempat rehabilitasi. Memiliki tiga program utama yakni kesehatan, pengamanan dan pengentasan. “Saya mengumpulkan tokoh-tokoh seluruh Indonesia, lokasi ini menjadi Resosialisasi Argorejo. Sosialisasinya, kami melakukan pendampingan, pendidikan, pendekatan kesehatan, terutama mencegah penyebaran HIV/AIDS. Sampai saat ini ada dokter yang mengecek rutin dan memiliki sejumlah fasilitas kesehatan seperti puskesmas,” kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua Resosialisasi se-Indonesia ini. (abdul mughis)

editor : ricky fitriyanto