MURAH tapi langka, atau mahal tapi mudah didapat. Kepahitan buah simalakama minyak goreng ini mau tidak mau harus ditelan masyarakat.
Drama dimulai ketika Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 06 Tahun 2022 tanggal 26 Januari 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng diterbitkan. Permendag yang diberlakukan mulai 1 Februari tersebut, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menetapkan HET minyak goreng sawit kemasan Rp14.000 per liter.
Baca Juga: Drama Minyak Goreng, Kapan Berakhir?
Sejak saat itu, minyak goreng seperti disulap. Tiba-tiba hilang begitu saja. Kelangkaan minyak goreng terjadi. Bahkan sempat viral sejumlah video yang menggambarkan keseruan emak-emak saling berebut minyak goreng di minimarket.
Desas-desus pun muncul di masyarakat. Kabarnya, minyak goreng sengaja disimpan karena penetapan HET seolah-olah dadakan. Para tengkulak yang telanjur memborong minyak goreng dengan harga normal, tak rela jika harus menjualnya sesuai HET.
Karena minyak goreng tak ditemukan di pasar, masyarakat memilih migrasi. Dari minyak goreng sawit ke minyak goreng kelapa.
Minyak goreng kelapa kemasan yang baisanya kerap berjajar rapi di rak minimarket, terpaksa menjadi opsi menutup kebutuhan minyak goreng. Selisih harganya juga tak begitu signifikan.
Lihat postingan ini di Instagram
Kini, HET sudah dicabut. Keputusan itu tertuang dalam Permendag Nomor 11 Tahun 2022 dan berlaku mulai 16 Maret 2022. Dan tiba-tiba minyak goreng kembali membanjiri pasar. Pemandangan emak-emak berebut minyak sudah tidak ada lagi.
Ya, pasalnya, banyaknya stok minyak goreng kemasan yang tiba-tiba muncul, dibarengi dengan harga yang membubung hingga Rp25.000 per liter.
Lepas Tangan
Menanggapi tingginya harga minyak goreng kemasan, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jateng, Muhammad Arief Sambodo lepas tangan.
Pasalnya, sesuai arahan dari Kementerian Perindustrian, harga minyak goreng kemasan memang sudah diserahkan kepada kondisi pasar.
“Sekarang harga yang berlaku diserahkan ke pasar. Harga pasar kan tidak bisa tahu sampai mana. Karena kita sangat tergantung dengan CPO. Ketika harga CPO dunia naik, akan ikut harga itu,” ucapnya.
Dikatakan, Disperindag Jateng hanya konsentrasi menjaga stok minyak goreng mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.
“Hitung-hitungan kasarnya, kebutuhan minyak goreng per orang itu 1 liter per bulan. Jika penduduk Jateng sekitar 37 juta, dikurangi yang masih batita (bawah tiga tahun) uang tidak mengonsumsi minyak, berarti ada 35 jutaan. Berarti kebutuhan minyak goreng di Jateng berkisar 35 juta liter per bulan,” jelasnya.
Baca Juga: Minyak Goreng Murah, Ilusi di Tengah Pandemi
Meski begitu, Arif juga khawatir harga minyak goreng yang bakal terus menanjak saat Ramadan dan Idul Fitri. Karena itu, dia mengajak Dinas Perdagangan kabupaten/kota untuk menggelar operasi pasar atau pasar murah.
“Tentu tidak hanya pemerintah saja, kami juga berharap ada pihak lain yang menggelar pasar murah agar masyarakat bisa menjangkau minyak goreng saat puasa dan Lebaran jika harganya terus naik,” harapnya.
Arif mengaku masih fokus memelototi minyak goreng curah. Dia menilai, subsidi minyak goreng memang lebih layak dengan menentukan HET minyak curah.
Pasalnya, selama ini minyak goreng curah lebih banyak dikonsumsi untuk masyarakat dengan kondisi ekonomi bawah. Sementara mereka yang menengah ke atas lebih memilih minyak goreng kemasan.
“Jadi kami fokus menjaga HET minyak goreng curah tetap di Rp 14.000,” bebernya.
Dukungan Pemda
Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo mendesak pemerintah pusat melalui Kementerian Perdagangan untuk segera mengambil langkah pengendalian minyak goreng. Menurutnya, Kementerian Perdagangan memegang kunci sehingga permasalahan minyak goreng bisa cepat diurai.
“Harus cepat, tidak boleh lambat lagi, dan harus terkendali betul. Saya kira leader-nya, leading sector-nya itu mesti Kementerian Perdagangan,” ucapnya.
Baca Juga: Mendag Heran Jutaan Liter Minyak Goreng di Jakarta-Surabaya-Medan Raib
Dia merasa, dukungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat untuk mengendalikan distribusi dan harga minyak tidak pernah kurang.
Persoalan minyak goreng ini sudah berlangsung cukup lama sehingga kecepatan mengambil tindakan sangat diperlukan. Sebab hal ini dapat memengaruhi perekonomian.
“Kita di daerah siap mendukung itu. Tapi karena pabriknya tidak di sini, sistem distribusinya kami juga hanya mengikuti dari keputusan di sana (pusat), termasuk seluruh kebijakan minyak goreng,” jelasnya.
Permainan Pengusaha
Di lain pihak, buah simalakama minyak goreng disebut-sebut merupakan permainan pengusaha demi meraup keuntungan.
Kapoksi Komisi VIII DPR RI, Abdul Wachid menuturkan, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi pro pengusaha besar.
Penetapan dan penarikan HET membuat pengusaha memperoleh keuntungan besar. Sementara rakyat tetap akan kesulitan mendapatkan minyak goreng yang sudah menjadi kebutuhan sehari-hari.
Baca Juga: Kejati DKI Sita Satu Kontainer Minyak Goreng di Tanjung Priok
“Pencabutan HET minyak goreng menunjukkan bahwa keberpihakan Menteri Perdagangan bukan kepada rakyat, tapi kepada pengusaha! Pengusaha panen besar,” terangnya.
Legislator dari Partai Gerindra ini menilai, Permendag Nomor 6 Tahun 2022 yang mengatur harga minyak goreng hanya menjadi kebijakan semu karena tidak bisa menyelesaikan persoalan minyak goreng.
“Berbekal Permendag Nomor 6 Tahun 2022, mestinya pemerintah bisa ambil langkah tegas. Pemerintah tinggal memerintahkan produsen CPO (minyak sawit mentah) untuk melakukan DMO (Domestic Market Obligation) dan DPO (Domestic Price Obligation) ke perusahaan minyak goreng,” jelasnya.
Jika CPO tidak jalan, lanjutnya, pemerintah harus berani cabut HGU perusahaan kelapa sawit itu.
“Perusahaan minyak goreng juga bisa dicabut izinnya kalau tidak memproduksi minyak goreng yang sesuai kebutuhan rakyat,” tandasnya. (*)