SEMARANG (jatengtoday.com) – Meski Indonesia telah merdeka sejak 74 tahun silam, namun hingga kini kondisi guru belum sepenuhnya diperhatikan. Hanya guru negeri saja yang disejahterakan. Sedangkan kondisi guru hampir di setiap penjuru wilayah memprihatinkan.
Bahkan guru honorer di sekolah swasta masih banyak yang hanya menerima gaji Rp 300 ribu per bulan. Padahal antara guru negeri dan swasta memiliki peran yang sama yakni mencerdaskan generasi bangsa.
Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PERGUNU) bersama sejumlah organisasi profesi guru lainnya mendesak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim memperhatikan kondisi guru swasta.
Sedikitnya ada sembilan poin usulan yang disampaikan langsung kepada Nadiem Makarim secara tertulis, belum lama ini.
“Kami menilai ini penting untuk disampaikan kepada Menteri Pendidikan,” kata Ketua Pimpinan Pusat PERGUNU, Aris Adi Leksono, Jumat (8/11/2019).
Kesembilan poin tersebut, pertama, untuk memperkuat karakter nasionalisme bagi guru dan warga pendidikan. Hal itu karena menurunnya karakter kebangsaan, dan tumbuh suburnya kelompok anti Pancasila. Berdasakan penelitian, salah satunya disebabkan karena sebagian guru mulai terpapar paham anti nasionalisme, sehingga cenderung intoleran.
“Kondisi demikian, berakibat pada proses pembelajaran yang harusnya transfer knowledge. selaras dengan budaya luhur bangsa, bergeser menjadi yang diutamakan transfer ideologi yang kontra dengan nilai Pancasila dan budaya luhur bangsa,” katanya.
Kedua, memperhatikan lembaga pendidikan swasta dan pendidikan daerah, terutama di luar Jawa. Hal itu, karena memajukan pendidikan Indonesia yang memiliki jangkauan sangat luas tidak bisa dilakukan oleh lembaga pendidikan negeri saja yang jumlahnya cukup terbatas. Pendidikan Indonesia bukan sekedar di kota saja, tapi ada di desa dan daerah.
“Perhatian tersebut, diwujudkan dengan memberikan dukungan sarana dan prasarana yang memenuhi standar nasional pendidikan, memberikan pendampingan manajemen mutu, dan lainnya,” katanya.
Ketiga, memperhatikan kesejahteraan guru, terutama guru honorer swasta. Pemerintah perlu mengkaji ulang terkait kesimpulan umum “guru sudah sejahtera”.
Temuan PERGUNU, lanjut dia, masih banyak guru honorer swasta yang gajinya hanya Rp 300 ribu per bulan. “Sangat jauh dari Upah Minimun Regional. Untuk kesejahteraan pribadi guru tersebut saja susah, bagaimana nasib keluarganya, masa depan keluarganya,” katanya.
Maka dari itu, guru honorer swasta perlu pendapatkan perhatian kesejahteraan dan jaminan perlindungan bagi diri dan keluarganya, sebanding dengan ketulusan pengabdian yang diberikan. “Dalam konteks ini, kami mengusulkan dikeluarkan kebijakan guru honorer swasta menjadi tanggung jawab pemerintah, baik daerah ataupun pusat, bukan yayasan. Sehingga kesejahteraannya lebih terjamin dan mendapatkan kepastian,” tegasnya.
Keempat, pemerintah harus menyederhanakan perangkat administratif guru. Selama ini tahapan tugas guru pembelajar terhambat pada beban administratif, sehingga pada kegiatan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal. “Guru sering meninggalkan kelas, hanya sekedar urus silabus, RPP, dan kepangkatan. Kami mengusulkan adanya aplikasi digital terkait tugas administratif. Sehingga kerja guru fokus pelayanan akademik dan mutu lulusan peserta didik yang unggul berkompetisi pada global, tapi tetap berkarakter dan berkearifan lokal,” ujarnya.
Kelima, melaksanakan amanat Undang-Undang Guru dan Dosen yang jelas dalam memberikan jaminan perlindungan hukum dan keselamatan kerja pada guru dan keluarga guru dengan mengoptimalkan fungsi organisasi profesi guru.
Keenam, tindak lanjut dari penetapan organisasi profesi guru yang berstandar adalah pemerintah membentuk Komisi Perlindungan Guru Indonesia (KPGI). Komisi yang bersifat independen yang berfungsi sebagai dewan etik untuk semua organisasi profesi. Komisi ini bertugas mengawal terlaksananya UU Guru dan Dosen, PP, Permen, SK Dirjen, terutama dalam hal menjamin kesejahteraan guru, perlindungan hukum, dan jaminan keselamatan kerja.
Ketujuh, revolusi sistem pendidikan yang berorientasi bukan sekedar mutu, tapi lebih pada “budaya mutu”. “Selama ini kami melihat berbagai kebijakan dikeluarkan (UU, PP, Permen, Juknis, dll), puluhan triliun anggaran dikeluarkan untuk pelatihan dan lainya, tapi output dan outcome tidak sesuai dengan ekpektasi mutu pendidikan secara nasional,” katanya.
Kedelapan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan diminta mengoptimalkan fungsi rumah besar pendidikan yang mampu menyatukan visi dan langkah strategis pendidikan yang diselenggarakan di kementerian lainnya. Visi yang berorientasi pada terwujudnya cita-cita kemerdekaan Indonesia lahir dan batin, yaitu; terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, sejahtera lahir dan batin.
Kesembilan, menerapkan literasi dasar untuk menjawab tantangan revolusi industri 4.0 atau kompetensi abad 21; dari pendidikan dasar dan menengah dengan multi pendekatan, dengan tetap menjunjung tinggi budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia. (*)
editor : ricky fitriyanto