SEMARANG (jatengtoday.com) — Lima akademisi hukum dari berbagai universitas mengkritik keras putusan bebas terhadap Direktur PT Klasik Jaya Samudera (KJS), Andri Wijanarko, dalam kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang menjerat 58 calon awak kapal migran.
Dalam Eksaminasi Publik yang digelar di Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang beberapa waktu lalu, para majelis eksaminator menilai Pengadilan Negeri Pemalang keliru menafsirkan makna eksploitasi dan mengabaikan fakta penderitaan para korban.
Eksaminasi ini melibatkan LBH Semarang, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), serta jaringan masyarakat sipil Semarang.
Kasus ini berawal dari pendampingan terhadap 58 calon awak kapal dari Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Mereka direkrut PT KJS dengan janji bekerja di kapal berbendera asing bergaji 350–400 USD per bulan.
Namun kenyataannya, para korban ditahan berbulan-bulan tanpa kepastian, dokumen mereka dipalsukan, dan sebagian terjerat utang.
Meski demikian, pada Agustus 2025 lalu, PN Pemalang membebaskan Andri Wijanarko dengan alasan unsur eksploitasi tidak terbukti dan dokumen dinilai sah secara formal.
Memurut tim eksaminator, majelis hakim hanya memaknai eksploitasi sebagai kekerasan fisik. Padahal, penipuan, penyalahgunaan posisi rentan, dan eksploitasi waktu juga bentuk eksploitasi.
Ia menegaskan, definisi eksploitasi dalam UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO dan Protokol Palermo sudah jelas: persetujuan korban tidak sah bila didapat melalui penipuan atau tekanan.

Pengabaian HAM dan Fakta Lapangan
Selain soal tafsir eksploitasi, majelis eksaminator menyoroti pengabaian aspek hak asasi manusia (HAM) dalam putusan itu. Ini bentuk pembiaran terhadap praktik perbudakan modern.
Para eksaminator juga menilai hakim tidak menggali fakta material secara utuh, termasuk soal nasib puluhan korban lain yang diabaikan dalam proses persidangan. Kesaksian ahli dan bukti pemalsuan dokumen justru ditolak tanpa alasan kuat.
“Padahal, penahanan dokumen, jeratan utang, dan pemalsuan identitas adalah indikator klasik TPPO,” tambahnya.
Eksaminasi juga menyoroti dualisme perizinan antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan yang membuat PT KJS bisa beroperasi tanpa pengawasan ketat.
PT KJS memiliki izin perekrutan awak kapal (SIUPPAK), tapi tidak memiliki izin penempatan pekerja migran (SIP3MI). Ini celah hukum yang dibiarkan terbuka. Pemerintah harus segera menegaskan kewenangan agar pekerja migran terlindungi
Minta MA Koreksi Putusan
Dari hasil eksaminasi, kelima majelis sepakat putusan bebas PN Pemalang harus dikoreksi oleh Mahkamah Agung (MA). Mereka menilai hakim dan jaksa gagal menegakkan keadilan substantif dan malah berpihak pada korporasi.
“Mahkamah Agung perlu membatalkan putusan itu dan menegaskan kembali prinsip perlindungan korban TPPO,” tegas Benediktus Danang Setianto, majelis eksaminator.
Selain meminta MA mengoreksi putusan, mereka juga mendorong agar PT KJS dimintai pertanggungjawaban pidana korporasi, izin usahanya dicabut, dan pemerintah menghapus dualisme perizinan.
Terpisah, perwakilan LBH Semarang, M Safali menambahkan, hasil eksaminasi ini akan dibawa ke Mahkamah Agung. Sementara MA masih mengadili kasus ini yang diajukan kasasi.
Dia berharap MA membatalkan putusan perkara tersebut. “Karena putusan ini preseden buruk penegakan hukum dan HAM. Hakim tidak melihat dari sisi kerentanan para korban,” ucap Safali, Kamis (30/10/2025). *
