SEMARANG (jatengtoday.com) — Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah hanya menuntut ringan terdakwa kasus kejahatan terhadap kesusilaan, DP (31), pria yang memasukkan sperma ke dalam makanan.
“Tuntutannya 6 bulan,” ujar jaksa Kejati Jateng, Novie Amalia Nugraheni usai membacakan amar tuntutan pada sidang tertutup di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (22/12/2021).
Baca Juga: Jaksa Diminta Tuntut Maksimal Dokter Cabul yang Campurkan Sperma ke Makanan
Jaksa Novie enggan menjelaskan secara rinci apa pertimbangan tuntutan tersebut. “Tanya saja ke pimpinan (Kejati Jateng) ya, karena kami hanya tim pelaksana,” jawabnya sambil berlalu.
Di sisi lain, terdakwa DP yang didampingi kuasa hukumnya juga memilih bungkam. Saat dicecar usai keluar ruang sidang, mereka langsung ngacir meninggalkan pengadilan.
Sebagai informasi, DP merupakan mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis di salah satu kampus negeri di Semarang. Ia didakwa melakukan tindakan asusila.
Dokter tersebut mengintip korban saat mandi, kemudian melakukan onani, lalu mencampurkan spermanya ke makanan korban.
Kecewa Tuntutan Ringan
Salah satu pendamping korban dari LRC-KJHAM, Nia Lishayati mengaku kecewa dengan keputusan jaksa Kejati Jateng yang menuntut ringan terdakwa Dody. Tuntutan itu jauh dari hukuman maksimal.
Dia membeberkan, DP didakwa melanggar Pasal 281 KUHPidana.
Pasal tersebut antara lain berbunyi (1e) barang siapa sengaja merusak kesopanan di muka umum; (2e) barang siapa sengaja merusakkan kesopanan di muka orang lain, yang hadir tidak dengan kemauannya sendiri.
“Harusnya terdakwa dituntut maksimal. Pasal itu ancaman hukumannya bisa sampai dua tahun delapan bulan. Tapi ini malah hanya enam bulan,” kritik Nia saat ditemui di pengadilan.
Sebelumnya, LRC-KJHAM juga meminta jaksa memasukkan tuntutan restitusi (pemulihan kondisi korban atau penggantian kerugian) yang telah diajukan korban.
“Sayang sekali, sesuai informasi yang kami terima sementara, katanya belum ada tuntutan restitusi,” tutur Nia.
Kini, LRC-KJHAM bersama korban menggantungkan harapannya kepada majelis hakim PN Semarang yang mengadili perkara ini. “Semoga besok hakim bisa menjatuhkan vonis hukuman maksimal,” harapnya.
Risiko Hukuman Ringan
Menurut Nia, hukuman ringan dapat berisiko buruk. Bisa saja pelaku tidak merasa jera. Parahnya, pelaku bisa menganggap wajar tindakan asusila atau kekerasan seksual yang dilakukan.
Dia mengaku miris dengan kasus ini karena terdakwanya merupakan seorang dokter yang sedang menempuh pendidikan dokter spesialis.
“Seorang dokter seharusnya menjaga moral dan etik karena ke depannya harus melayani banyak orang atau pasien. Ketika dia tidak mendapatkan efek jera akan berpotensi memunculkan korban lainnya,” ucap Nia.
Di sisi lain, Nia mengkritik sikap abai kampus tempat terdakwa kuliah.
Usai kasus ini bergulir di kepolisian, sebenarnya LRC-KJHAM sudah melayangkan surat tertulis kepada kampus agar mereka tahu kronologi kasusnya dan bisa memberi hukuman kepada mahasiswanya.
“Dulu sudak kami surati, tapi sampai sekarang kami belum dapat klarifikasi atau tindakan lanjutannya,” jelas Nia. (*)
editor : tri wuryono