WONOGIRI (jatengtoday.com) – Seorang dokter bedah di Wonogiri menceritakan kisahnya berjuang menjalani perawatan di ruang isolasi Covid-19. Selama 12 hari dia terbaring, bertaruh hidup dan mati.
Cerita berawal saat ia dinyatakan terkonfirmasi positif Covid-19 pada 18 November 2020. Ia pun melakukan perjalanan menuju RS Moewardi, Solo untuk isolasi. Sepanjang perjalanan tubuhnya terus menggigil.
Sesampainya di rumah sakit, kondisinya tambah buruk dengan demam yang masih tinggi. “Setiap hari saya menggigil kedinginan dan bahkan setiap 6 jam sekali harus mengkonsumsi obat pamol agar tidak menggigil akut,” ujarnya.
Di hari keempat masa isolasi, ia mulai batuk dan merasa semua anggota badan terasa sakit. Setiap bergerak batuk kian menjadi, pun saat menjalankan salat. Dokter tersebut sangat tersiksa dan sulit untuk bernafas.
Di hari keenam isolasi, kondisi semakin parah. Masa di mana ia sudah tak bisa merasakan indera penciuman. Bahkan tidak bisa mengunyah dengan baik. “Kalau saya makan langsung muntah,” ceritanya.
Hari yang Mencekam
Hari ketujuh masa isolasi merupakan puncak penderitaan. Batuk yang semakin parah, ditambah dengan komorbid penyakit diabetes. Memang, dua tahun ini belakangan dia harus melakukan suntik insulin novomik.
“Saya hampir menyerah. Beberapa sahabat juga berpikir demikian karena risiko orang yang diabetes terkena Covid-19 biasanya berujung kematian,” ungkapnya.
Namun, malam itu dia mendapat kiriman plasma dari Jakarta dan langsung mendapat injeksi 1 kantong plasma. Ia juga disuntik tosilizumab yang harganya mencapai Rp8 juta.
Khasiatnya bekerja dengan baik. “Hanya selang 6 jam pasca suntikan, saya sudah bisa makan pisang. Padahal sebelum disuntik saya tidak bisa menelan,” imbuhnya.
Di hari kedelapan, dia mendapat injeksi plasma yang kedua. Seluruh badan terpasang alat ekg, oksigen 5 liter, dan infus 2 jalur. Seharian hanya tertidur. Saat bangun, badan terasa lebih ringan dan segar, batuk juga berkurang dan demam menurun.
Memasuki hari kesembilan, demam sudah menghilang. Suhu tubuh normal meskipun tidak minum obat penurun panas. “Terlewati sudah masa-masa kritis. Terlewati sudah pertarungan antara hidup dan mati,” kisahnya.
Ayah Tak Selamat
Penderitaan dokter bedah sebenarnya tak sampai di situ. Pada waktu yang sama, anak semata wayangnya terpapar Covid-19. Kondisi ini diperparah karena ayah mertuanya juga mengalami kondisi serupa.
Anaknya dirawat bersamanya di RS Moewardi. Adapun ayahnya yang juga dokter bedah berada dalam ruangan ICU RSUP Dr Kariadi Semarang. Usia ayah yang sudah 78 tahun, menjadikannya sangat rapuh menghadapi serangan virus ini.
Hingga pada 21 November 2020, kabar yang tak diharapkan pun datang. Ayahnya meninggal dan dimakamkan dengan protokoler Covid-19. Ia tak bisa menyaksikan karena kondisinya masih terbaring tak berdaya di ruang isolasi.
“Anak diisolasi, mertua meninggal. Rasanya semua kesedihan menimpa saya,” ceritanya. Bahkan jika ditotal, ada 8 orang anggota keluarganya yang terpapar Covid-19.
Namun, dia berusaha tegar dan tidak mau menyerah. Ia pun bangkit dan akhirnya sembuh dari penyakit ini. Anaknya juga dinyatakan sembuh. Saat ini mereka sedang masa pemulihan. Sudah bisa bersepeda di sekitar rumahnya. (*)
editor: ricky fitriyanto