in

Dinilai Bertentangan dengan UU Advokat, Permenristekdikti tentang PPA Dikecam Banyak Pihak

SEMARANG (jatengtoday.com) – Terbitnya Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) nomor 5 tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat (PPA) pada 22 Januari 2019 lalu menuai kritik. Banyak pihak menilai keputusan itu terkesan ngawur.

Ketua DPD Kongres Advokat Indonesia (KAI) Jateng, John Richard Latuihamallo mengungkapkan, Peraturan Menteri (Permen) tersebut bertentangan dengan UU Advokat nomor 18 tahun 2003. Sehingga, ia menduga penetapan Permen dilakukan orang yang tidak paham tata urutan perundang-undangan.

“Itu bertentangan dengan aturan di atasnya. Seharusnya, selama UU Advokat belum diubah, maka tidak boleh membuat peraturan baru yang bertentangan dengan UU tersebut,” ujarnya, Rabu (3/4/2019).

Menurutnya, selama ini yang berhak menyelenggarakan pendidikan advokat adalah organisasi profesi advokat itu sendiri. Dengan demikian, seharusnya pelaksanaan PPA atau Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dikembalikan ke organisasi advokat tersebut yang menjalankan.

“Hal itu juga bertentangan dengan teori Stufenbau atau teori Piramida yang dicetuskan Han Kelsen sebagai basis teori tata hukum di Indonesia. Karena jelas aturan di bawahnya nggak boleh bertentangan dengan UU di atasnya,” beber Richard.

Ia juga mempertanyakan apakah sebelum menerbitkan Permen sudah terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan organisasi advokat. Karena menurutnya, advokat adalah profesi yang mandiri dalam menerapkan pelaksanaan pendidikan tersebut.

“Menjadi advokat itu, semuanya melalui proses alami lapangan yang bertahun-tahun. Jadi tidak butuh pendidikan tambahan formal seperti di aturan Permen itu, karena sudah ada kuliah formal. Karena bagaimana pun, advokat itu lebih ke praktik,” ungkap Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Kota Semarang ini.

Atas terbitnya aturan tersebut, pihaknya memastikan akan melakukan langkah hukum agar dibatalkan.

Senada dengan itu, Anggota Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Jateng, Okky Andaniswari juga menilai Permen tersebut melanggar UU Advokat. Khususnya dalam hal prosedur pengangkatan advokat. Selain itu, bertentangan dengan Putusan MK No. 95/PUU-XIV/2016 mengenai uji Pasal 2 ayat (1) UU Advokat yang diputus inkonstitusional bersyarat.

Putusan MK itu, katanya, hanya mengamanatkan penyelenggaraan PKPA dilakukan organisasi advokat dengan keharusan bekerjasama dengan perguruan tinggi hukum atau sekolah tinggi hukum yang berakreditasi B.

“Permenristekdikti itu seolah hendak menghapus pelaksanaan PKPA dan ujian advokat yang selama ini dilakukan organisasi advokat,” tandas Sekretaris Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) Kota Semarang ini.

Okky menjelaskan, Permenristekdikti itu seharusnya mengacu pendelegasian dari UU Advokat. Termasuk putusan MK No.103/PUU-XI/2013 dan 95/PUU-XIV/2016. Karena juga bertentangan dengan prinsip umum hierarki penyusunan peraturan perundang-undangan seperti diatur UU nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pandangan berbeda diungkapkan oleh ahli hukum tata negara pada Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri Semarang (UNNES), Dr Rodiyah. Menurutnya, hadirnya Permen tersebut dapat menaikkan martabat dan harkat advokat. Sehingga, pendidikannya tidak diremehkan, melainkan bisa seperti profesi dokter maupun asisten dokter.

Terkait perubahan UU, Rodiyah menganggap wajar, karena perubahan sifatnya dinamis. Ia juga menjelaskan, PPA secara akademik justru memberikan sinyal negara ingin menaikkan martabat advokat sehingga sesuai dengan UU pendidikan nasional. “Jadi UU advokat yang harus ada perubahan,” tandasnya. (*)

editor : ricky fitriyanto