SEMARANG (jatengtoday.com) – Anggota Komunitas Woman Migrant Curut Kabupaten Grobogan, Roswati mengungkapkan, mayoritas pekerja migran Indonesia (PMI) telah mengalami pelanggaran hak dari masa perekrutan. Hal tersebut terus berlangsung hingga di masa penampungan, pemberangkatan, saat bekerja di negara tujuan, hingga ketika pulang ke Indonesia kembali.
Roswati mencontohkan, pada proses perekrutan, pekerja migran telah menjadi korban pelanggaran. Seperti diberi iming-iming gaji tinggi, kerja enak, majikan baik, dan banyak bonus. Lalu, pemalsuan identitas dan dokumen, serta minimnya informasi kontrak kerja yang biasanya tidak didapatkan secara lengkap.
“PT yang merekrut pekerja migran banyak yang memalsukan dokumen, seperti KTP, akta, dan KK. Apalagi, kontrak kerja biasanya dibaca cepat-cepat. Belum lagi yang kontraknya menggunakan bahasa Inggris dan harus ditandatangani buru-buru,” ujarnya saat mengisi Dialog Publik dan Publikasi Film Dokumenter oleh LRC-KJHAM di @Hom Hotel, Jumat (29/3/2019).
Menurutnya, situasi pelanggaran juga terjadi saat di penampungan. Roswati mencontohkan dengan buruknya kualitas penampungan, dari mulai tempat tidur, kamar mandi, makan, dan minum. Bahkan, katanya, tak sedikit yang kemudian mendapat kekerasan, baik fisik, psikis, maupun seksual.
Harusnya, kata Roswati, saat di penampungan calon pekerja migran diberi informasi yang cukup oleh PT tentang hak-haknya. Namun, banyak yang tidak mendapatkan. “Belum lagi tentang pembekalannya, antara bahasa yang diajarkan di penampungan, berbeda dengan bahasa yang digunakan di negara tujuan tempatnya bekerja,” bebernya.
Pelanggaran semacam itu terus terjadi, termasuk pada saat pemberangkatan. Seperti keberangkatan pada masa moratorium serta jalur pemberangkatan yang ilegal, melalui jalur tikus. “Ada juga yang modus keberangkatannya lewat haji, umroh, atau visa tour,” imbuh Roswati.
Ia juga menjelaskan tentang situasi pelanggaran pada saat di negara tujuan. Banyak yang bekerja tidak sesuai kontrak, kurang istirahat, tidak pernah libur, meskipun dalam keadaan sakit tetap dipaksa. Ada pula yang passportnya dibawa majikan, gajinya di bawah standar, dipotong, atau justru tak dibayar. Belum lagi yang mendapat kekerasan.
Mau mengadu juga kebingungan kepada siapa, karena berkomunikasi ke luar. “Berorganisasi dan bertemu sesama perempuan pekerja migran Indonesia, tidak boleh. Boro-boro bertemu teman, sholat dan puasa ramadhan saja ada yang dilarang,” keluhnya.
Roswati juga menceritakan situasi pelanggaran pada saat purna tugas. Diantaranya adalah masih adanya ancaman dari agen sekalipun telah kembali ke Indonesia. Adapula yang dokumen aslinya dibawa atau disita PT. Belum lagi yang sampai mengalami depresi atau stres.
“Sesampainya di rumah, tetangga memandang sebelah mata karena menjadi migran pembantu rumah tangga. Mau bekerja di negara sendiri juga kesulitan, apalagi pemerintah juga tidak memberikan pelatihan dan keterampilan untuk mantan pekerja migran,” ucapnya.
Sementara itu, Ika Yuli Herniana dari LRC-KJHAM mengamini perkataan Roswati. Pihaknya juga mendapatkan berbagai aduan dari para pekerja migran. Setelah dikaji dengan lintas komunitas, ternyata permasalahan semacam itu memang sudah lazim.
Berdasarkan data yang diambil dari BNP2TKI, sejak tahun 2016 hingga Oktober 2018, Jawa Tengah adalah provinsi tertinggi kedua pengirim pekerja migran. Mayoritas pekerja migran adalah perempuan. Dan tak sedikit yang mengalami permasalahan di tempatnya bekerja.
“Sebagaimana hasil pemantauan LRC-KJHAM sejak tahun 2010 hingga 2018, terdapat 7.286 perempuan mengalami kekerasan, 418 diantaranya dialami oleh perempuan pekerja migran, dan 124 diantaranya meninggal dunia,” beber Ika.
Menurutnya, situasi ini tidak sesuai dengan norma dan standar hak asasi manusia yang tercantum di dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
Diantaranya adalah UU No. 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), UU No. 11 tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya, UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), UU No. 6 tahun 2012 tentang ratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan keluarganya, dan UU No. 18 tahun 2017 tentang Perlindungan pekerja migran Indonesia.
“Hal ini diperparah dengan tidak adanya regulasi bagi perlindungan pekerja migran di daerah. Sehingga ketika terjadi kasus yang menimpa pekerja migran, pemerintah daerah sebagai representasi Negara tidak menjalankan tanggungjawab sebagaimana mestinya,” tandasnya. (*)
editor : ricky fitriyanto