in

Demokrasi Kian Merosot, Jaringan Masyarakat Sipil Bentuk Jateng Corruption Watch

Jateng Corruption Watch resmi dilaunching pada Kamis (9/12/2021), secara daring. (istimewa)

SEMARANG (jatengtoday.com) – Bersamaan dengan momentum peringatan Hari Antikorupsi se-Dunia, lahir sebuah lembaga sipil bernama Jateng Corruption Watch (JCW). JCW ini sebagai bentuk keprihatinan sejumlah kalangan masyarakat sipil bahwa saat ini tak ada lagi lembaga yang konsen memiliki perhatian khusus terhadap korupsi di Jawa Tengah.

Lembaga ini dibentuk oleh jaringan masyarakat sipil, masing-masing; LBH Semarang, Pattiro, Walhi Jateng, AJI Semarang, LRC KJHAM, PBHI Jateng Pelita dan elSa. Mereka kemudian mengundang personel individu yang dinilai komitmen mau terlibat dalam proses penegakkan budaya anti korupsi.

Jateng Corruption Watch resmi dilaunching pada Kamis (9/12/2021), secara daring. “Kami bersepakat mendirikan lembaga baru (JCW) yang menjadi wahana teman-teman masyarakat sipil atau pun pihak lain dunia pendidikan, menjadikan rujukan lembaga terkait isu korupsi,” kata Benny Setianto, Badan Pengurus Jateng Corruption Watch.

Peluncuran tersebut dilakukan setelah melewati proses penyusunan ADART yang membutuhkan waktu cukup lama. “Ditambah perkembangan kondisi korupsi semakin memburuk. Saya didampingi dua orang; Mila Karmila, akademisi yang banyak berkiprah dan konsen isu korupsi, Eti Oktaviani, wakil dari LBH Semarang masuk dalam badan pengurus. Kemudian mengadakan rapat umum anggota melibatkan pihak jaringan sipil dan individu pemilihan koordinator badan pekerja,” bebernya.

Rapat tersebut memutuskan, Kahar Muamalsyah, wakil unsur dari PBHI Jateng untuk menjadi koordinator badan pekerja didampingi Syukron sebagai sekretaris. “Mereka menjalankan program dan mohon masukan banyak pihak termasuk proses rekrutmen jika ada yang mau terlibat di dalam upaya menciptakan antikrorupsi di Jateng,” katanya.

Sebagai badan pemantau korupsi, Benny meminta dukungan publik untuk memantau JCW. “Baik berkaitan kebijakan organsiasi maupun individu yang terlibat agar tetap berjalan sesuai rel sebenarnya,” ujarnya.

Koordinator Badan Pekerja JCW, Kahar Muamalsyah mengatakan, butuh dukungan besar agar perlawanan terhadap korupsi tetap berlanjut dan semakin solid. “Kami menganggap perjuangan melawan korupsi adalah perjuangan kemanusiaan, kami hadir di tengah masyarakat sipil sebagai bagian dari gelombang perlawanan terhadap korupsi yang semakin menggurita. Terlebih demokrasi di Indonesia semakin merosot,” katanya.

Menurutnya, kondisi sekarang ini tidak memungkinkan bila hanya sekadar berdiskusi dan berbicara. “Sudah saatnya melakukan sesuatu. Sedangkan Jateng sebagai salah satu penduduk terpadat dan kemiskinan besar di tengah kebijakan negara justru semakin jauh dari nilai demokrasi. Tentu pemantauan dan pengawasan kebijakan publik harus semakin ditingkatkan,” tegasnya.

Latar belakang lahirnya JCW, lanjut dia, salah satunya karena sekarang ini tidak ada satu pun pemantau lembaga pemberantasan korupsi  di Jateng. “Sedangkan selama ini mengharap ke KPK, namun KPK sendiri dilemahkan. Kondisi masyarakat  sulit mengungkap, takut bicara ke publik karena kriminalisasi,” katanya.

Menurutnya, korupsi bukan hanya kasus yang terungkap, tetapi juga membangun mental masyarakat yang dianggap sebagai suatu hal biasa. “Kami hadir bukan hanya mengungkap, tapi bekerja dan melakukan kampanye, edukasi pada publik. JCW dibentuk untuk menjawab persoalan sistemik dan kondisi saat ini,” imbuh dia.

Aswinawati dari YLBHI Indonesia menilai, keberadaan JCW sebagai lembaga pengawasan sangat penting. Sebab, kondisi pelemahan terhadap KPK menjadi ironi menyedihkan.

“Pemberantasan korupsi beriringan membantu hak-hak yang dirampas oleh Pemda lewat korupsi. JCW sangat penting, karena kebutuhan dan permintaan masyarakat,” katanya. (*)

editor : tri wuryono