in

Dari 4.151 Korban Kekerasan Perempuan, Hanya 660 yang Berani Lapor

SEMARANG (jatengtoday.com) – Kasus kekerasan berbasis gender terus mengalami peningkatan. Sayangnya, para korban banyak yang belum berani melaporkan kasusnya ke pihak yang berwenang.

Menurut data dari Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM), sejak 2013-2017 tercatat ada 2.116 kasus kekerasan berbasis gender. Jumlah korbannya mencapai 4.151 orang.

Aktivis LRC-KJHAM, Witi Muntari mengungkapkan, dari 4.151 korban kekerasan perempuan, hanya 660 orang yang berani melaporkan kasusnya ke polisi.

“Ini miris, karena semakin banyak korban yang tidak berani melapor, maka semakin banyak pula kemungkinan terjadi peningkatan kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya saat memberi materi pada dialog publik Cegah Kekerasan Seksual; Ciptakan Semarang Ramah Perempuan’ di Wisma Perdamaian, Kamis (29/11/2018). Dialog digelar dalam rangka Harlah ke 51 Korp PMII Putri (Kopri).

Saat ini, kata Witi, perempuan memang serba dilematis. Selain karena aturan perundang-undangan yang belum ramah perempuan, kondisi sosial di masyarakat juga tak mendukung. Orang-orang belum mampu memandang persoalan secara komprehensif.

Dirinya mencontohkan kasus aborsi. Selama ini, jika ada perempuan yang ketahuan melakukan aborsi, maka persepsi masyarakat hanya terfokus pada tindakannya yang terlarang, tanpa melihat bagaimana kronologi kejadiannya. Seperti apakah perempuan diperkosa atau tidak.

Sebab, ujarnya, dari 4.151 korban kekerasan perempuan, 2.222 adalah korban kekerasan seksual. Dan mirisnya, hanya 82 perempuan yang mendapatkan layanan pemulihan fisik atau medis.

Witi mengaku prihatin akan hambatan korban kekerasan, utamanya bagi korban kekerasan seksual. Bahkan tak sedikit yang mengalami kriminalisasi karena kurangnya alat bukti saat proses hukum.

“Saya mengimbau para korban jangan takut melapor. Sebab saat ini sudah banyak LSM-LSM yang bersedia untuk mengadvokasi para korban,” katanya.

Selain itu, pemerintah daerah juga telah memfasilitasi. Salah satunya dengan dibentuknya Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Seruni Kota Semarang sejak tahun 2005. Sebagai pusat pengaduan, PPT tersebut bahkan bisa dijumpai di setiap kecamatan.

Pengurus PPT Seruni, Diana Mayorita berharap agar para korban kekerasan bisa mengadukannya ke pihak yang berwenang. Bisa ke pusat pelayanan terpadu, LSM, rumah sakit, atau kantor polisi.

“Jangan diam. Itu bukan persoalan pribadi lagi, karena jika ada kekerasan adalah persoalan pelanggaran hukum,” paparnya. (*)

editor : ricky fitriyanto