SEMARANG (jatengtoday.com) – Sebanyak 15 panitia Program Nasional Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) tahun anggaran 2018 di Desa Dawuhan, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal, masih melenggang bebas. Baru 1 terdakwa yang diproses. Padahal, perkara tersebut diduga telah merugikan negara hingga Rp 278.250.000.
Adapun yang sudah diproses adalah Patoni, Kepala Desa Dawuhan nonaktif. Ia digelandang ke meja hijau dan dituntut pidana oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Slawi di Pengadilan Tipikor Semarang, karena kedudukannya sebagai penanggung jawab PTSL.
Oleh jaksa Ricky Makado, terdakwa Patoni dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaan kedua.
Kasi Tipidsus Kejari Slawi, tersebut kemudian menjatuhkan hukuman terhadap Patoni dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 2 bulan dengan dipotong selama terdakwa berada di dalam tahanan sementara. Serta menghukum terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp 50 juta, subsidair 1 bulan kurungan.
Di samping itu, penasehat hukum terdakwa dari LBH Penegak Hukum dan Kebenaran, Nurul Arifin Suyanto, Dion S. Marhaendra, dan Rezky Tamelah mengaku prihatin. Sebab, dari 15 panitia yang ada, hanya kliennya saja yang diproses.
“Dalam kasus ini, pelakunya hanya klien kami. Padahal kerugian negara juga telah dikembalikan. Kami berharap majelis hakim memberikan vonis ringan dan telah kami urai dalam pembelaan atau pledoi,” ujar Nurul Arifin seusai sidang, Selasa (7/5/2019).
Selain terdakwa yang berperan sebagai PJ, ada Ketua I dan II ada Afifudin Amin Ibnu Umar, Sekretaris Issha Cipto Hartono, Bendahara Tati Noviyati, sedangkan seksi pendaftaran ada Ahmad Muhtadi, Husni Mubarok, Titi Nurhayati, Untung Mangun, Toto Suparto, Subidin, Rasipin, Darmo, Siswadi, Priyono, dan Komarudin.
“Kecuali terdakwa Patoni, semuanya masih melenggang bebas,” jelasnya.
Terpisah, Sekretaris Gerakan Masyrakat Perangi Korupsi (GMPK) Kota Semarang, Okky Andaniswari mengaku heran. Sebab, meskipun program tersebut dikabarkan gratis, ternyata di lapangan masih banyak warga yang dipungut biaya dalam penerbitan sertifikatnya. Ia masih ingat kasus Kadus di Boyolali, dan Kades Brebes yang akhirnya mendekam di dalam jeruji besi.
Pihaknya juga meminta aparat penegak hukum di Kota Semarang, baik Polrestabes Semarang, Kejari Kota Semarang, Polda, maupun Kejati Jateng, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk berani mengusut adanya pungutan yang diduga gratis tersebut, yang juga terjadi di Semarang.
Pihaknya sendiri mengaku sudah melakukan penelusuran di Kota Semarang program PTSL juga berbayar, yang besarannya dari Rp 500 ribu hingga Rp 3 juta.
“Di Gayamsari, Ngaliyan, maupun di seluruh kelurahan di Kota Semarang, yang kami telusuri di lapangan memang ada pungutan penerbitan sertifikat PTSL itu. Kami pernah menerima laporan dan cek lapangan, ternyata memang ada pungutan, cuma modusnya seolah sudah disepakati dengan warga. Pungutan itu melalui RT-RW dan diketahui pegawai BPN setempat,” pungkas Okky. (*)
editor : ricky fitriyanto