SEMARANG (jatengtoday.com) – Aktivis Federasi Kesejahteraan Penyandang Cacat Tubuh Indonesia, Muhammad Fasa menyayangkan hingga kini pemerintah daerah belum optimal dalam merekrut kaum disabilitas. Menurutnya, sejumlah persyaratan masih seringkali membatasi dan cenderung terjadi diskriminasi.
“Kami masih bingung tentang perekrutan tenaga honorer dan CPNS di setiap Pemda. Jadi kami tidak masuk di zona umum. Kami diberikan penerimaan khusus,” kata Fasa, Kamis (28/3/2019).
Dia mencontohkan misalnya untuk disabilitas yang dibutuhkan untuk tenaga IT harus sarjana IT. “Jadi kalau tidak sarjana IT tidak bisa masuk. Sehingga banyak formasi yang tidak diikuti. Padahal temen-temen (disabilitas) bisa mengisi formasi lain,” tuturnya.
Lebih lanjut, kata dia, misalkan formasi umum membutuhkan tenaga Tata Usaha. Harusnya, kaum disabilitas bisa masuk di situ. Tetapi nyatanya tidak bisa karena disabilitas masuk formasi khusus dalam penerimaan honorer dan PNS di setiap pemda.
“Perhatian dan pemahamannya kurang. Harusnya kami diajak bicara dulu memenuhi kuota 2 persen itu. Kami tidak mau dibuka formasi khusus. Khusus disabilitas, contoh sarjana hukum tetapi enggak punya sarjana hukum adanya ekonomi,” katanya.
Padahal di formasi lain sarjana ekonomi dibutuhkan. Kelihatannya saja tersedia buat difabel. “Formasi khusus itu menghambat kami,” tegasnya.
Menurut dia, perlakuan seperti itu hampir terjadi di setiap pemerintah daerah. Sebab, pemerintah daerah tersebut mengacu ke pemerintah pusat. “Kalau soal itu tidak ada perbedaan. Perekrutan PNS maupun honorer di daerah untuk kaum disabilitas belum baik,” tuturnya.
Padahal dalam Penjelasan Pasal 5 UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik.
“Pada aturan tersebut dapat dilihat bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan, termasuk penyandang disabilitas sekalipun,” terangnya.
Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat merupakan realisasi lebih lanjut dari Pasal 5 UU Ketenagakerjaan khusus untuk penyandang disabilitas. Namun, UU 4/1997 tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas).
Sementara itu, aktivis disabilitas, Anggiasari Puji Aryatie meminta pemerintah, baik pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk menciptakan daerah yang ramah terhadap penyandang disabilitas. “Tidak hanya ramah dari sisi infrastruktur, namun juga harus dapat memberikan kesamaan akses akan pendidikan dan kesempatan kerja,” tegasnya.
Dia menyatakan akan terus mendorong agar pemerintah, khususnya di daerah memberikan keramahan terhadap warga penyandang disabilitas dalam segala bidang. Wanita yang aktif dalam kegiatan pemberdayaan perempuan itu menegaskan, sejatinya para penyandang disabilitas juga memiliki kemampuan dan kompetensi yang sama dengan masyarakat lainnya.
“Oleh karena itu, perlu bagi semua elemen masyarakat untuk memberikan ruang bagi mereka dalam berkarya. Terciptanya ruang kerja yang layak bagi teman-teman difabel harus diperjuangkan,” katanya.
Dia juga mendorong semua pihak agar menciptakan keterbukaan terhadap penyandang disabilitas. Selain itu, dia juga berharap penyandang difabel terus mengasah kemampuan dalam bidang apapun. “Yang kreatif dalam produk seni agar bisa menghasilkan karya yang lebih berkualitas,” katanya. (*)
editor : ricky fitriyanto