SEMARANG (jatengtoday.com) – Diakui atau tidak, diskriminasi penyandang disabilitas atau difabel hingga saat ini masih seringkali terjadi. Perhatian pemerintah terhadap hak penyandang disabilitas masih terbilang minim.
“Masih banyak sekolah umum yang hingga hari ini masih menolak menerima peserta didik disabilitas dengan alasan sekolah tersebut tidak memiliki fasilitas untuk penyandang disabilitas,” kata politisi dari Partai Nasional Demokrat (NasDem), Anggiasari Puji Aryatie, Sabtu (2/3/2019).
Dikatakannya, hak-hak warga disabilitas sebetulnya telah dijamin dalam Undang Undang (UU) Nomor 8 tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. “Hanya saja, dalam implementasinya masih lemah,” katanya.
Banyak kota di Indonesia belum menjalankan amanat Undang-Undang tersebut. Sebagian memang sudah berjalan, tetapi belum optimal. “Misalnya fasilitas umum pun masih belum ramah disabilitas. Seperti sekolah, terminal, bank atau berbagai fasilitas publik lainnya, masih belum ada fasilitas ram atau jalur bidang miring untuk dilewati kursi roda,” kata wanita penyandang disabilitas yang saat ini menjadi Calon Legislatif DPR RI untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
Menurut Anggiasari, DPR harus bisa ikut mendorong peningkatan anggaran bagi pemenuhan hak asasi warga disabilitas di negeri ini. Salah satu permasalahan memprihatinkan saat ini adalah tingginya jumlah anak disabilitas yang putus sekolah. “Bahkan masih ada yang sama sekali tidak bisa mengakses pendidikan,” katanya.
Ia mencontohkan keberadaan Sekolah Luar Biasa (SLB) yang masih sangat terbatas. “Banyak anak difabel yang tak bersekolah, karena lokasi SLB yang terlalu jauh dari lingkungan mereka,” jelasnya.
Selain itu, masih banyak sekolah umum yang sampai hari ini masih menolak menerima peserta didik dengan disabilitas. “Alasannya sekolah tersebut tidak memiliki fasilitas untuk penyandang disabilitas,” katanya.
Padahal anak- anak dengan disabilitas tak boleh mendapatkan diskriminasi dalam mendapatkan hak pendidikan. “Anak disabilitas harus diperbolehkan memilih sekolah di manapun yang dia mau, dan sekolah tidak boleh menolak,” tegasnya.
Aktivis penggiat hak- hak warga disabilitas ini menilai undang undang yang ada saat ini termasuk progresif karena menjamin pemenuhan hak- hak dasar bagi penyandang disabilitas. “Pemerintah terus berupaya memenuhi hak-hak dasar penyandang disabilitas. Namun, memang perhatian pemerintah masih belum maksimal walaupun sebenarnya sudah jauh lebih baik,” katanya.
Fasilitas umum belum sepenuhnya memberi akses untuk warga disabilitas, meski sebagian telah mulai disediakan. “Fasilitas toilet yang dikhususkan bagi penyandang disabilitas, masih sangat jarang. Tak terkecuali belum semua trotoar menggunakan lajur khusus untuk orang dengan disabilitas,” katanya.
Persoalan- persoalan tersebut diakui Anggiasari menjadi motivasi kuat baginya untuk ikut memperjuangkan hak- hak dasar para penyandang disabilitas jika diberi mandat sebagai anggota parlemen.
“Saya bagian dari penyandang disabilitas, sehingga tahu bagaimana pentingnya pemenuhan hak- hak kaum disabilitas,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni), Aria Indrawati, mengakui pentingnya regulasi yang menjamin pemenuhan hak- hak dasar kaum disabilitas.
Ia bahkan mengharapkan ruang penyandang disabilitas di parlemen politik perlu ditambah agar mereka bisa ikut terlibat dan berperan lebih besar dalam pembuatan kebijakan bagi penyandang disabilitas.
“Saya setuju harus lebih banyak lagi penyandang disabilitas di kancah politik, selain sebagai pemilih pontensial, mereka juga tahu persis apa yang dibutuhkan oleh penyandang disabilitas,” jelasnya.
Saat ini, kata Indrawati, para penyandang disabilitas sedang memperjuangkan Indonesian Inklusif Disabilitas. Perlu partisipasi aktif di pemerintahan termasuk di parlemen.
“Karena itu, kami juga berharap agar partai politik juga mulai melakukan pengkaderan bagi penyandang disabilitas, mulai dari tingkat daerah hingga tingkat pusat,” tegasnya.
Ketua Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA Penca), Heppy Sebayang sebelumnya mengatakan, secara kuantitas jumlah penyandang disabilitas yang dipinang oleh partai politik sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2019 meningkat.
Hal itu harus dipandang sebagai suatu kesempatan bagi kaum difabel untuk terjun ke dunia politik. “Dibanding Pemilu lalu, ada peningkatan dari sisi jumlah,” kata Heppy.
Namun hingga saat ini partai politik masih belum mau memberikan kesempatan bagi caleg- caleg difabel untuk tampil mewakili partai. Atau setidaknya memberikan panggung bagi mereka untuk mengenalkan program serta visi misi.
“Dari sisi humanis, caleg difabel justru dapat dilihat sebagai salah satu pembeda yang patut diapresiasi di tengah minimnya caleg- caleg yang mengangkat isu- isu disabilitas,” tegasnya. (*)
Editor: Ismu Puruhito