in

Begini 4 Cara Hacker Serang Jaringan KPU

SEMARANG (jatengtoday.com) – Kasubdit Cyber Bareskrim Polri, Kombes Pol Dani Kustoni mengaku terus berupaya memperketat keamanan jaringan di Komisi Pemihan Umum (KPU) RI. Pasalnya, dari pengalaman Pemilu lalu, tidak sedikit hacker yang coba menerobos keamanan jaringan KPU untuk berbagai kepentingan. Salah satunya memanipulasi data perhitungan suara.

Saat menjadi narasumber Seminar Nasional “Penegakan Hukum Terhadap Penyebar Berita Hoax menghadapi Pemilihan Umum 2019” di Wisma Perdamaian, Semarang, Rabu (27/3/2019), Dani bercerita, ada empat pembobolan jaringan yang sangat mengganggu.

“Pertama DDOS attack. Saat KPU kabupaten/kota menginput data perolehan suara ke KPU pusat, dicegat oleh hacker. Datanya dimanipulasi. Untung, Pemilu kita masih menggunakan sistem perhitungan offline. Kalau sudah online, bisa bahaya. Hacker yang menyusup bisa memanipulasi perolehan suara,” bebernya.

Setelah itu, ada hacker yang mendeface laman utama web KPU. Mengunggah tampilan laman dengan gambar lain. “Saat itu juga, website KPU terpaksa langsung didownkan untuk diperbaiki,” tuturnya.

Tidak hanya seputar web, serangan cyber juga dilakukan pada ponsel milik salah satu petugas KPU RI. Yakni dengan DDOS Call. “Ponsel petugas terus berdering dengan panggilan dari nomor di luar Indonesia,” imbuhnya.

Dari pengalaman itu, pihaknya coba memperketat keamanan jaringan. Agar benar-benar tertutup dari penyusup. “Sejak kemarin kami terus lakukan penetration test jaringan keamanan KPU. Kami tes dulu, mana yang sekiranya bisa dimasuki penyusup,” bebernya.

Lebih lanjut, pihaknya juga mencoba mengamankan penyebaran hoax dan ujaran kebencian yang disemburkan lewat dunia maya. Dia melihat ada sistem propaganda yang diadopsi dari Rusia, yakni firehouse of falsehood. Propaganda ini dilakukan dengan menyebarkan berita secara bertubi-tubi dengan volume yang cukup besar.

“Ketika melakukan patroli cyber, kami melihat, ada informasi yang disemburkan dengan volume besar lewat bot. Jadi setiap detik, ada informasi yang disemburkan secara kontinyu dan terus menerus,” ucapnya.

Sistem propaganda itu, lanjutnya, memang kerap terjadi, terutama menjelang Pemilu, entah Pilpres, Pileg, hingga Pilkada. “Untuk menjelang Pilpres tahun ini, kami belum bisa memastikan, apakah ada campur tangan dari negara di luar Indonesia, atau orang dalam yang memang expert,” imbuhnya.

Pihaknya mengakui, penyebaran hoax sulit dikendalikan. Sebab, penyebaran informasi bohong tersebut dilakukan lewat media sosial privasi seperti grup WhatsApp (WA).

Hoax gampang menyebar di grup-grup WA. Baru kemudian muncul di media sosial seperti Facebook dan Twitter. Setelah itu, media mainstream muncul untuk meluruskannya.

“Tapi informasi hoax sudah terlanjur dikonsumsi masyarakat. Pergerakan ini mulai menyempit setelah WA punya regulasi membatasi forward pesan hanya 5 kali untuk mempersempit fenomena ini,” bebernya.

Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Abhan Misbah menambahkan, pengawasan hoax dan pelanggaran Pemilu di media sosial sangat rumit. Sebab, akun yang dipakai biasanya fiktif.

“Kami sudah berkoordinasi dengan Kementerian Kominfo (Komunikasi dan Informasi). Ada 127 akun yang melanggar UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang dianggap melanggar. Sudah kami take down,” jelasnya.

Dia mengakui, take down akun yang dianggap berpotensi menyebar hoax dan ujaran kebencian, tidak efektif. “Cara ini tidak bisa mencabut akar permasalahan. Soalnya, hari berikutnya, muncul lagi dengan akun berbeda,” tandasnya. (*)

editor : ricky fitriyanto