SEMARANG (jatengtoday.com) – Ayatullah Humaini disebut sempat mengeluarkan Rp600 juta agar bisa dilantik sebagai Direktur Utama (Dirut) PDAM Kabupaten Kudus. Padahal, ia sebenarnya tak memenuhi persyaratan untuk maju.
Pernyataan tersebut mengemuka dalam sidang dakwaan kasus dugaan suap PDAM Kudus. Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Arkanu tersebut digelar di Pengadilan Tipikor Semarang, Selasa (22/9/2020).
Jaksa Sri Haryono mengungkapkan, pada 2018 lalu Ayatullah sempat menemui dua anggota tim pemenangan Bupati Kudus HM Tamzil yang bernama Munjahid dan Sudibyo.
Dalam pertemuan itu, Ayatullah menyampaikan keinginannya untuk menjadi Dirut PDAM Kudus. Selanjutnya dia menyerahkan uang secara bertahap dengan rincian Rp250 juta, Rp250 juta, dan Rp100 juta.
Menurut jaksa, pasca itu Ayatullah mengikuti berbagai tahapan seleksi, salah satunya menjalani psikotest. Sesuai hasil dari bagian Psikologi Biro SDM Polda Jateng menyatakan bahwa Ayatullah ‘tidak disarankan’.
“Namun terdakwa Ayatullah tetap dinyatakan lulus seleksi dan diangkat menjadi Dirut PDAM Kudus periode 2019-2024 oleh Bupati Kudus M Tamzil,” ujar jaksa Sri.
Hutang ke Pengusaha
Uang Rp600 juta yang digunakan Ayatullah untuk pencalonan didapat dari hasil berhutang. Saat seleksi Dirut PDAM Kudus masih berjalan, Ayatullah meminta bantuan pendanaan ke pemilik Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Mitra Jati Mandiri, Sukma Oni Iswardani.
Pengembalian utang bakal dialokasikan dari hasil pungutan pengangkatan pegawai PDAM Kudus yang dilantik oleh Dirut.
Selain itu, kata jaksa, sebagai balasannya, Sukma diberi keleluasaan untuk penyewaan kendaraan dinas. Ia juga dijanjikan dapat proyek di PDAM Kudus.
Untuk diketahui, dalam kasus ini ada 3 terdakwa yakni Direktur Utama PDAM Kudus Ayatullah Humaini; pemilik Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Mitra Jati Mandiri, Sukma Oni Iswardani; dan Kepala Seksi Kepegawaian PDAM Kudus Toni Yulantoro.
Ketiganya dijerat dengan Pasal 12 Huruf e atau Pasal 11 atau Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan ditambahkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. (*)
editor: ricky fitriyanto