in

Fenomena Herbal Anti Covid, YLKI: Manajemen Penanganan Wabah Buruk

SEMARANG (jatengtoday.com) – Belakangan ini marak beredar produk herbal, jamu, maupun obat yang mengklaim bisa menyembuhkan atau menangkal Covid-19. Fenomena ini justru meresahkan masyarakat, membingungkan hingga menyesatkan publik serta cenderung menabrak pakem perlindungan konsumen.

Fenomena terakhir yang viral dan menghebohkan adalah wawancara musisi sekaligus Youtuber Erdian Aji Prihartanto alias Anji dengan Hadi Pranoto terkait klaim temuan obat Covid-19. Dalam wawancara tersebut Hadi Pranoto disebut dengan panggilan ‘Prof’ dan mengklaim telah melakukan riset mengenai produk herbal hasil temuannya.

Namun hal itu justru memantik reaksi keras dari berbagai pihak serta masyarakat. Nyaris semua pihak mempertanyakan temuan dan sosok Hadi Pranoto yang kontroversial tersebut.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengungkapkan bahwa fenomena sebagaimana yang terjadi belakangan ini—menurutnya dipengaruhi beberapa sebab. “Musababnya di antaranya buruknya politik manajemen penanganan wabah, aspek tekanan psikologi konsumen, lemahnya literasi konsumen terhadap produk obat-obatan, dan belum optimalnya penegakan hukum,” katanya saat menggelar jumpa pers bersama Badan POM secara daring melalui aplikasi Zoom, Senin (10/8/2020).

Mengapa politik manajemen penanganan wabah buruk? Sebab terjadi benturan dari aspek kesehatan vs aspek ekonomi. “Hasilnya, Covid-19 makin luas, pertumbuhan ekonomi nyungsep, minus 5,13 persen, pejabat publik memberikan contoh buruk dalam merespon virus Corona. Dari mulai nasi kucing, doa qunut, jamu Pancasila, hingga kalung eucaalyptus,” ungkapnya.

Dari sisi psikologi, lanjut dia, konsumen mengalami tekanan psikologis yang sangat kuat, yakni rasa takut terinfeksi Covid-19. Hal itu dikarenakan belum ada obat atau vaksin untuk Covid-19. “Konsumen juga mengalami tekanan ekonomi yang sangat dalam, karena pendapatannya turun, gaji dipotong, dirumahkan, bahkan PHK, dan lain-lain,” katanya.

Selain itu, lemahnya literasi konsumen terhadap produk obat, jamu dan herbal. “Konsumen kurang paham klaim obat, jamu, menyembuhkan, mengobati, meringankan, membantu meringankan, dan lain-lain. Selanjutnya, belum optimalnya penegakan hukum,” imbuhnya.

Over klaim oleh jamu tradisional maupun herbal sudah lama marak di media sosial, seperti: anti kanker, menyembuhkan DM, darah tinggi, asam urat, dan seterusnya. “Fenomena endorsemen oleh artis terhadap produk tertentu, seperti kosmetik, jamu, dan herbal yang terbukti belum mengantongi registrasi/izin edar dari Badan POM,” katanya.

Lemahnya penegakan hukum bisa dilihat dari sejumlah kasus yang sudah masuk ranah hukum divonis ringan. Artinya, pelaku tidak dipenjarakan. “Akibatnya kasus berulang,” katanya.

Bagaimana jalan keluarnya? Menurut Tulus, harus memperbarui politik majagemen penanganan wabah. “Tak bisa atasi pandemi, jangan mimpi ekonomi akan membaik. Mendorong peningkatan literasi masyarakat konsumen terhadap produk obat, jamu tradisional, dan herbal. Penegakan hukum yang konsisten, kontinyu dan terintegrasi, hingga ke hulu, khususnya penegakan secara online,” bebernya. (*)

 

editor: ricky fitriyanto