SEMARANG (jatengtoday.com) – Fenomena ojek online (Ojol) telah berkembang pesat dan tidak terkontrol hingga ke seluruh penjuru perkotaan. Di satu sisi, adanya ojek online memberikan kemudahan publik mendapatkan transportasi cepat ke tujuan.
Namun hal yang tidak disadari adalah munculnya berbagai masalah sosial baru yang mengikutinya. Mulai dari masalah parkir sembarangan, kemacetan, menerobos palang pintu perlintasan KA, berkendara sambil pegang telepon genggam, beroperasi di atas trotoar, dan tidak adanya standarisasi transportasi aman, nyaman, bagi masyarakat.
Ironisnya, tidak ada penataan aturan secara jelas mengenai fenomena ojek online tersebut oleh pemerintah. Hal ini menjadi bukti kelemahan pemerintah dalam menyediakan transportasi umum. “Kondisi pelayanan transportasi menjadi buruk, komposisi strata perekomian dan perilaku khas masyarakat Nusantara dimanfaatkan menjadi peluang bisnis yang sangat menguntungkan dari semua sisi dari segi bisnis,” kata Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, Selasa (5/11/2019).
Dikatakannya, kondisi seperti ini justru menjadi tidak menguntungkan bagi pemerintàh dan masyarakat pengguna. Pemerintah cenderung tidak mampu menata ojek online. Bahkan hingga sekarang, angka pasti jumlah pengemudi ojek online tidak diketahui.
“Pemerintah tidak tahu berapa jumlah pastinya. Kalau begitu, lantas bagaimana pemerintah mau mengatur, membina dan mengawasi, jika jumlah angka pasti saja tidak diketahui hingga sekarang. Pemerintah cenderung mendukung karena dianggap dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi warganya,” bebernya.
Terkait korelasi antara ojek online dengan lapangan pekerjaan tersebut, Djoko menyebut, hasil survey yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan di lima kota (Jabodetabek, Bandung, Makassar, Surabaya, dan Yogyakarta) 4-7 Mei 2019.
Pekerjaan sebelum menjadi pengemudi Ojol adalah tanpa pekerjaan alias pengangguran hanya (18 persen). Selanjutnya wirausaha (44 persen), BUMN/Swasta (31 persen), pelajar/mahasiswa (6 persen) dan ibu rumah tangga (1 persen).
“Jadi, kurang benar jika selama ini ada anggapan kalau bisnis ojol itu mengurangi pengangguran. Yang pasti adalah beralih profesi menjadi pengemudi ojol karena tawaran penghasilan yang memikat saat itu,” katanya.
Justru, lanjut dia, sekarang malah terjerat dan untuk kembali ke pekerjaan semula mengalami kesulitan. “Kecuali sudah memiliki keahlian khusus, seperti pertukangan, petani dapat kembali ke profesi semula. Bagi yang pekerja kantoran, sulit kembali bekerja di kantor sebelumnya,” imbuhnya.
Pekerjaan utama sebagai pengemudi ojol sebanyak 84,4 persen, sisanya 15,6 persen berprofesi pekerja BUMN/Swasta (6,5 persen), ibu rumah tangga (6,1 persen), pelajar/mahasiswa (6,5 persen), ASN (1,7 persen), wiraswasta (01, persen) dan lain-lain (1,1 persen).
Sebanyak 91 persen, sepeda motor milik sendiri. Sewa 5 persen dan milik orang lain 4 persen. Jam beroperasi dalam sehari terbesar kisaran 10-12 jam (31,94 persen), 7-9 jam (23,29 persen), 12-14 jam (18,51 persen), lebih dari 15 jam (12,47 persen), 4-6 jam (11,75 persen) dan 1-3 jam (2,04 persen).
Jumlah pesanan atau order dalam sehari terbanyak 5-10 kali (40,22 persen). Kemudian berikutnya 11-15 kali (30,86 persen), 16-20 kali (16,05 persen), kurang dari 5 kali (6,83 persen) dan 21-25 kali (4,27 persen).
Penataan Transportasi
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan, dibenarkan sepeda motor dapat digunakan mengangkut barang. Aturan batas barang bawaan untuk sepeda motor (pasal 10 ayat 4), meliputi muatan memiliki lebar tidak melebihi stang kemudi, tinggi muatan tidak melebihi 900 milmeter dari atas tempat duduk pengemudi, barang muatan ditempatkan di belakang pengemudi dan mengutamakan faktor keselamatan.
“Data Korlantas Polri menyatakan, lebih dari 70 persen angka dan korban kecelakaan berasal dari sepeda motor. Sepeda motor rentan mengalami kecelakaan,” katanya.
Lebih lanjut, untuk melindungi pengemudi dan pengguna Ojol, Kementerian Perhubungan telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang keselamatan perlindungan keselamatan pengguna sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat.
“Di beberapa kota di mancanegara juga beroperasi ojek motor. Ada aturan pasti, tidak semua jenis sepeda motor dapat dapat digunakan sebagai ojek. Namun tidak sebanyak di Indonesia, layanan transportasi umum yang sangat bagus sudah dirasakan warganya. Warga dengan mudah dan murah sudah mendapat layanan transportasi umum tidak jauh dari tempat tinggalnya,” terangnya.
Selain itu, pertumbuhan industri sepeda motor tidak seperti di Indonesia yang mudah dan murah untuk diperoleh. “Kota-kota di Tiongkok, warganya menggunakan sepeda listrik dan membatasi gerak sepeda motor. Di Jepang yang produksi sepeda motornya banyak di Indonesia, warganya enggan menggunakan sepeda motor, lebih menyukai transportasi umum,” ujarnya.
Lain halnya di Indonesia, kata dia, hanya Kota Jakarta saja yang selama ini telah menata transportasi umum secara signifikan. “Sementara banyak kota-kota lain cenderung mematikan operasional transportasi umum,” katanya.
Sebetulnya upaya pemerintah untuk menata transportasi umum sudah ada, yakni tertuang dalam RPJM Nasional 2015-2019 dan dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Perhubungan 2015-2019, yakni pengembangan Bus Rapid Transit (BRT) di 34 kota besar beserta fasilitas pendukungnya.
“Namun itu hanya berupa tulisan, belum perwujudan hingga akhir tahun 2019. Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (2014-2019) telah gagal menyediakan transportasi umum yang diminati warga. Mereka hanya berhasil membagi sejumlah armada bus ke daerah,” ungkapnya.
Penataan pemerintah terkait transportasi cenderung buruk, hingga kini Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Tenaga Kerja belum mengeluarkan aturan bagaimana mengatur keberadaan Ojol ini. “Operasional ojol tidak ada yang mengawasi dan mengaudit sistem aplikasinya. Kementerian Komunikasi dan Informatika yang seharusnya melakukan ini. Hubungan kemitraan yang tepat bagi pengemudi ojol dengan pihak aplikator belum diatur oleh Kementerian Tenaga Kerja,” katanya. (*)