JAKARTA (jatengtoday.com) – Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily berharap hukuman mati terhadap terpidana pemerkosa 13 santriwati, Herry Wirawan memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual lain. Namun, di sisi lain masih terjadi perdebatan bahwa hukuman mati terlalu berlebihan.
“Hukuman bagi Herry Wirawan sudah sangat berat. Kami berharap dengan hukuman ini menyadarkan dirinya, bahwa perbuatannya itu membuatnya insaf dan memberikan efek bagi yang lainnya,” kata Ace Hasan, Selasa (5/4/2022).
Menurut dia, yang paling utama adalah agar vonis terhadap pelaku pemerkosaan santriwati itu menjadi pelajaran bagi siapa pun, agar jangan melakukan kekerasan seksual, terutama terhadap anak.
Baca Juga: PT Bandung Kabulkan Vonis Mati Pemerkosa 13 Santriwati
Dia juga berharap, vonis terhadap Herry itu dapat memberikan efek psikologis dalam konteks pemulihan bagi para korban. Hal itu, harapnya, dapat memberikan trauma healing, sehingga para korban dapat merasakan keadilan hukuman.
“Penegak hukum juga harus memastikan soal restitusi bagi korban. Ini penting agar masa depan mereka terjamin, terutama bagi korban di bawah umur,” tukasnya.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung mengabulkan vonis hukuman mati terhadap Herry Wirawan, pelaku pemerkosaan terhadap 13 santriwati, Senin (4/4).
Ketua Majelis Hakim PT Bandung Herri Swantoro memutuskan hukuman tersebut setelah Kejaksaan Tinggi Jawa Barat mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung, yang memberikan hukuman pidana seumur hidup kepada Herry Wirawan.
Dalam putusan tersebut, hakim memperbaiki sejumlah putusan PN Bandung, antara lain putusan hakim bahwa Herry tetap ditahan.
Hukuman itu sesuai Pasal 21 KUHAP jis Pasal 27 KUHAP jis Pasal 153 ayat ( 3) KUHAP jis ayat (4) KUHAP jis Pasal 193 KUHAP jis Pasal 222 ayat (1) jis ayat (2) KUHAP jis Pasal 241 KUHAP jis Pasal 242 KUHAP, PP Nomor 27 Tahun 1983.
Kemudian Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 65 ayat (1) KUHP dan ketentuan-ketentuan lain yang bersangkutan.
Selain vonis mati, Herry juga diwajibkan untuk membayar restitusi sebesar lebih dari Rp300 juta. Putusan kewajiban membayar restitusi itu menganulir putusan PN Bandung yang sebelumnya membebaskan Herry dari hukuman pembayaran ganti rugi korban itu.
Dukungan Menteri
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga memberikan apresiasi atas putusan banding yang menjatuhkan vonis mati kepada terpidana Herry Wirawan.
“Kami mengapresiasi putusan banding Hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang menurut kami sudah sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan harapan masyarakat,” kata Menteri PPPA dalam keterangannya, Selasa (5/4/2022).
Pihaknya juga mengatakan bahwa putusan restitusi yang dibebankan kepada pelaku sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Kami juga menghormati putusan tersebut termasuk upaya hukum lain yang masih memungkinkan dilakukan oleh terpidana melalui upaya kasasi,” katanya.
Dari amar putusan hakim, beberapa pertimbangan yang memberatkan hukuman untuk terpidana di antaranya adalah perbuatan terdakwa menimbulkan trauma dan penderitaan terhadap korban dan orang tua korban, dan perbuatan terdakwa dianggap mencemarkan lembaga pondok pesantren dan merusak citra agama Islam.
Hakim juga menetapkan sembilan anak dari para korban dan para anak korban agar diserahkan perawatannya kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat cq. UPT Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Barat setelah mendapatkan izin dari keluarga masing masing dengan dilakukan evaluasi secara berkala.
Apabila dari hasil evaluasi ternyata para korban dan anak korban sudah siap mental dan kejiwaan untuk menerima dan mengasuh kembali anak-anaknya dan situasinya telah memungkinkan, anak-anak tersebut dikembalikan kepada para anak korban masing-masing.
Hakim juga memutuskan untuk merampas harta kekayaan/ aset terdakwa Herry Wirawan alias Heri bin Dede untuk dipergunakan sebagai biaya pendidikan dan kelangsungan hidup para anak korban dan bayi-bayinya hingga mereka dewasa atau menikah.
Keputusan Hakim PT Bandung dianggap sudah sesuai dengan tuntutan hukuman mati Jaksa Penuntut Umum PN Bandung.
“Keputusan hukuman mati dan pembebanan restitusi kepada pelaku ini diharapkan tidak hanya memberikan efek jera serta mencegah berulangnya kembali kasus yang sama di masa depan, tapi juga memastikan kepentingan terbaik anak-anak korban beserta anak-anak yang dilahirkannya,” kata Menteri Bintang.
Bukan Solusi
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menegaskan bahwa hukuman mati terhadap Herry Wirawan (HW) selaku pelaku perkosaan terhadap 13 santri bukanlah merupakan solusi bagi korban kekerasan seksual.
Maidina dalam keterangan, Senin (4/4/2022), mengatakan bahwa hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual justru akan menggeser fokus negara kepada hal yang tidak lebih penting dari korban.
“Meskipun pelaku perkosaan dan kekerasan seksual lain harus dimintai tanggung jawab, hukuman mati dan penyiksaan bukanlah solusinya,” kata Maidina ketika mengutip ucapan UN High Commissioner for Human Rights Michelle Bachelet.
Ia mengutarakan bahwa tidak ada satu pun bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa pidana mati dapat menyebabkan efek jera, termasuk di dalam kasus perkosaan.
Baca Juga: Herry Wirawan Tidak Dibebani Biaya Restitusi, Negara Salah Apa?
Lebih lanjut, di dalam putusan ini, hakim menyatakan bahwa restitusi dijatuhkan sebagai upaya memberikan efek jera kepada pelaku. Padahal, restitusi seharusnya diposisikan di dalam diskursus hak korban, bukan penghukuman terhadap pelaku.
“Jika mengikuti logika berpikir ini, hakim akan menghadapi pembatasan di dalam Pasal 67 KUHP, yang melarang penjatuhan pidana tambahan lain kepada terdakwa yang dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup,” kata Maidina.
Hal ini yang di dalam putusan lalu menjadi masalah bagi hakim di tingkat pertama bahwa ketika hukuman yang maksimal sudah diberikan kepada pelaku, hukuman lain tidak dapat dijatuhkan.
Maka dari itu, tutur Maidina, untuk mengatasi kekacauan ini, seharusnya hukuman mati tidak boleh dijatuhkan di dalam kasus apa pun, khususnya kekerasan seksual, dalam hal ini korban membutuhkan restitusi untuk mendukung pemulihannya. (ant)