Saya penambang cryptocurrency. Saya tahu bagaimana teknologi web 3.0 bekerja, apa dan bagaimana cara kerja blockchain, serta menjadi bagian dari pendirian ekonomi saya dalam bekerja. Saya punya PayPal, wallet crypto, dan tidak pernah dipinjam orang lain untuk transaksi. Saya tidak mengaktifkan mobile banking, tidak punya Shopee Pay, tidak beli kaos dengan gesek kartu.
Yang ingin saya sampaikan adalah.. bagaimanapun, kita masih butuh uang kertas.
Pandemi mempercepat “pengenalan” transaksi digital. Kerja jarak-jauh, konferensi dengan Zoom, dan terus mengenang diri di media sosial. Pembelajaran jarak-jauh.
Sampai Maret 2020, 10% transaksi dalam bisnis kecil, tidak lagi memakai uang tunai (cashless). Menjadi 60% pada Juni 2020. Restoran dan organisasi jasa, sudah memproses tagihan, di angka 90%.
Swedia, hanya 1,3% dari PDB yang diedarkan secara tunai, mengumumkan transaksi 100% tanpa uang-tunai di tahun 2023.
Perpindahan ke cashless telah menciptakan hambatan sistemik untuk mereka yang belum punya nomer rekening di bank.
Saya selalu makan malam di luar.
Pada suatu hari, saya berbincang-bincang dengan seorang kawan yang bekerja di rumah makan.
“Dari mana kamu mendapatkan uang tambahan?” tanya saya. Ia menjawab, “Dari tips yang diberikan kepada pengunjung yang baik hati. Berapapun itu.”.
Kembalian yang kamu relakan, betapapun kecilnya, sangat berpengaruh bagi perubahan. Kembalian 500 rupiah yang tidak kamu minta, karena sudah kamu relakan, bermanfaat bagi orang lain.
Meskipun dalam beberapa sisi, saya sangat tidak suka uang kertas, selama ini saya menyadari, ada hal lebih yang bisa dilakukan uang kertas. Kamu punya 500 atau 1000 rupiah yang kamu relakan untuk orang lain, seperti kasus di restoran di atas. Praktis untuk memberikan tip. Membuat anak kecil tersenyum senang hanya dengan uang 5000 untuk beli eskrim. Memberi bisa membuat hatimu tenang dan lebih mudah dilakukan dengan uang kertas. Selain itu, bebas pajak. [dm]