in

Cara Teknologi Web 3.0 Ubah Dunia

Dunia sudah jauh berubah dengan teknologi Web 3.0, kamu hanya belum tahu dan sadari itu.

(Credit: SynchTank)

Tahun 1995, Bill Gates menulis memo “Internet Tidal Wave” untuk para petinggi di Microsoft. Selama 10 jam browsing, Bill Gates tidak menemukan format file (DOC, AVI) buatan Microsoft.

Bill Gates ingin, “internet” menjadi prioritas Microsoft berikutnya.

Tahun 1996 Bill Gates menulis esai klasik dari internet awal, yang menjadi dasar “ekonomi kreator”. Esai itu berjudul “Content is King“.

Esai itu “jitu” ketika berbicara tentang “arah internet”. Bill Gates mengajak orang berpikir, tentang apa yang akan terjadi, setelah ada internet, atau dengan kata lain, kita bisa apa dengan internet itu.

Beberapa point yang ternyata benar dari ramalan Bill Gates:

  1. Mudahnya Publikasi dan Distribusi. “.. siapa pun yang memiliki PC dan modem dapat mempublikasikan konten apa pun yang dapat mereka buat. Dalam arti tertentu, Internet adalah multimedia yang setara dengan mesin fotokopi. Hal ini memungkinkan materi untuk diduplikasi dengan biaya rendah, tidak peduli ukuran penonton..”.
  2. Content Berbayar. “Agar Internet berkembang, penyedia konten harus dibayar untuk pekerjaan mereka.”.
  3. Klik Iklan dan Analytics. “Dalam jangka panjang, iklan menjanjikan. Keuntungan dari iklan interaktif adalah bahwa pesan awal hanya perlu menarik perhatian daripada menyampaikan banyak informasi. Seorang pengguna dapat mengklik iklan untuk mendapatkan informasi tambahan-dan pengiklan dapat mengukur apakah orang-orang melakukannya.”.
  4. Content Gratis dan Premium. “Beberapa perusahaan konten bereksperimen dengan langganan, seringkali dengan iming-iming beberapa konten gratis. Ini rumit, karena begitu komunitas elektronik menagih langganan, jumlah orang yang mengunjungi situs turun drastis, mengurangi proposisi nilai bagi pengiklan.”.
  5. Iklan dengan Harga Sen. “Namun dalam waktu satu tahun, akan ada mekanisme yang memungkinkan penyedia konten untuk membebankan biaya hanya satu sen atau beberapa sen untuk informasi.”

Ramalan Bill Gates tentang arah internet, hampir sepenuhnya benar. Publikasi dan distribusi informasi memang mudah, ada tren content berbayar, perusahaan dan platform besar mengandalkan iklan (harga mulai dari sen) dan analytics seperti Google Search Console.

Benarkah “content is king” (konten itu raja), jargon yang kemudian mendunia, tentang pentingnya content, ternyata bisa membuat para kreator konten menjadi berjaya? Apakah secara finansial, benar para pembuat content itu menjadi kaya?

Tidak semudah itu, Bestie. Mari lihat kenyataan di statistik.

Dalam “landing page” website platform terkenal, kita sering dengar ajakan verbal untuk bikin content di situ. Spotify, YouTube, Facebook, dll. “Ayo, buat content kamu di sini, maka kamu akan..” diikuti dengan iming-iming earning, contoh mereka yang sukses, dan peluang ngehit.

Statistik Berkata Lain

Dan statistik berkata lain. Saya berikan beberapa contoh:

90% royalti streaming Spotify berada di 1,4% musisi papan atas.

Twitch, tempat saya menonton Hikaru Nakamura menyelesaikan chess puzzle, 1% teratas streamer menghasilkan 50% pendapatan di Twitch.

Pada musim semi 2017, terjadi moment Adpocalypse. Gerakan boikot iklan YouTube. Ini gerakan paling waow, kemarahan terhadap “perubahan kebijakan iklan”. Platform tersebut merombak kebijakan periklanannya, dan ribuan pembuat konten melihat pandangan dan pendapatan mereka anjlok sebagai akibatnya (sebagian, sampai 99%). YouTube menghadapi eksodus besar-besaran pengiklan karena kekhawatiran tentang iklan mereka yang ditampilkan di samping konten yang tidak pantas. Para kreator tidak ingin ada iklan yang salah-tempat di content mereka. Itulah pertama kalinya, para pembuat content mempertanyakan kebijakan platform, terkait pendapatan yang berasal dari iklan.

Medium menawarkan langganan USD5/bulan, di mana orang bisa dapat USD400 (rata-rata) jika punya tulisan dengan view 8K, ternyata 80% berisi pembuat content yang tidak bisa hasilkan USD100/bulan, dengan follower di bawah 1.5K : )

Substack dengan model bisnis newsletter berlangganan via email yang bisa membuat para penulis kaya dan terkenal, malah belum memakai teknologi blockchain.

Online, dengan banyak pendengar atau pemirsa, bukan jaminan earning tinggi. Kemudahan streaming, tidak lantas menjadi migrasi besar-besaran dari offline ke online. Justru menjadi penurunan penghargaan atas kerja keras.

Keuntungan lebih banyak menjadi milik platform.

Masalah Monetisasi di Web 2.0

Masalah yang sering terjadi dalam monetisasi di era Web 2.0:

  1. Identifikasi pemilik;
  2. Sistem pembayaran;
  3. Pertanyaan tentang hak-cipta;
  4. Originalitas, kelangkaan, dan nilai content.

Atau kalau dalam bahasa yang sering kita kenal: Decline. Pembayaran ditolak. Dianggap duplikat, spinner, AGC, PBN, Like kurang, Follower belum mencapai 2K, dst.

Dosa Web 2.0 yang Tak-Termaafkan

Pertanyaan berikutnya: Bagaimana internet memecahkan model bisnis media?

Internet (sampai era Web 2.0) tidak dibangun untuk mempermudah aliran uang.

Web 2.0 memiliki “dosa” bawaan yang akan mereka tanggung sampai mati. Monetisasi masih buram. Pembayaran tidak dimasukkan ke dalam infrastruktur internet dan itu sangat beresiko. Itulah dosa Web 2.0

Lihatlah bagaimana orang dimonetisasi. Orang tidak perlu keluarkan kartu kredit, tanpa perlu ketik informasi, mereka bisa dimonetisasi secara tak langsung. Mereka membayar dengan uang mereka, dengan aset berbeda: “perhatian”.

Simak betapa pintar strategi Google memanipulasi pikiran pemakai untuk iklan.

Benar. Platform itu beruntung karena mereka bisa eksploitasi “perhatian” pemakai. Attention Economy. Subscriber Economy. Semua itu zaman purba yang masih dirayakan Web 2.0

Platform dan perusahaan besar online, mengumpulkan perhatian (dan data) konsumen dalam skala besar.

Platform perhatian ini disebut “agregator“.

Mereka menambang keuntungan dari perhatian pemakai. Lihat jumlah pemakai aktif bulanan.. YouTube punya 2M, Facebook 3M, dan Spotify 365 juta pemakai aktif bulanan.

Google dan Facebook menyumbang lebih dari 50% iklan digital di tahun 2020.

Jadi, kalau orang bilang YouTube, Facebook, bisa bikin orang kaya, memang benar. Tetapi jumlah itu tidak merata, tidak akan merata, dan selamanya dalam monopoli platform. Sebab platform itu berjalan di atas iklan, menjalankan iklan, dan hidup dengan iklan. Bahkan mereka dirancang untuk ada demi iklan.

Jika suatu produk gratis, maka kamulah produknya. Data pemakai. Preferensi pemakai. Perhatian pemakai. Dan subscribe pemakai.

Project Jedi Blue: Google dan Facebook Manfaatkan Data Pemakai

Google dan Facebook membuat project Jedi Blue tentang kebijakan mereka dalam memanfaatkan data pemakai.

Kamu tidak akan percaya, apa yang bisa dan akan dilakukan Google dan Facebook, terkait data dan preferensi pemakai.

Tentang project “Jedi Blue” antara Google dan Facebook

Kamu bisa baca dokumen Project “Jedi Blue” yang “unredacted” (belum disensor).

Jangan lupa, di document itu, Google menyebut dirinya sebagai “perusahaan iklan”. Memang demikian Google.

Model bisnis iklan membentuk desain yang disalurkan ke konten dan pembuat populer. Aset terbesar mereka adalah data tentang preferensi dan perilaku pengguna. Contoh termudah: coba buka YouTube atau TikTok. Boleh tanpa login, matikan GPS kalau perlu. Kemudian pakailah kedua aplikasi itu sesuka hatimu: search, klik, scroll, view, dll. Setelah itu, sejam atau sehari kemudian, terjadilah keajaiban. YouTube dan TikTok memberikan saran di Beranda kamu. Seperti itulah preferensi. Kelakuanmu membentuk berandamu.

Pembuat konten dipaksa untuk mencari pemirsa seluas mungkin dan membuat konten yang menarik pengiklan.

Creator Tidak Dihargai Lebih di Web 2.0

Saya ingin katakan itu kepada Bill Gates dan platform yang menambang untung dari data pemakai.

Dampak terbesar (dan terburuk) dari Web 2.0: creator sesungguhnya tidak ada dan kreasi tidak pernah dibuat, karena tidak punya model bisnis yang layak.

Era Web 2.0 adalah ekonomi platform-sentris, bertenaga “perhatian”, preferensi pemakai, dan iklan. Mereka “menang” di kelas itu tetapi perjalanan internet tidak selesai sampai di situ.

Datanglah Era Web 3.0 dengan Teknologi Blockchain

Dan saya akan jelaskan, “blockchain” hanyalah salah satu teknologi di balik Web 3.0. Tulisan ini menceritakan “gambar besar” di balik Web 3.0 yang akan mengembalikan “janji palsu” Web 2.0 tentang “content is king”.

Pertanyaan bernilai tinggi, yang akan membuat mantan pacar kamu terpana, jika kamu bisa jelaskan teknologi Web 3.0. Saya akan jelaskan dengan analogi dan metafora yang sangat mudah tentang “teknologi Web 3.0”.

Era Web 3.0 adalah ekonomi kepemilikan. Ringkasnya: “saya” memiliki apa yang saya bagikan di jaringan desentral (tanpa-pusat).

Video ini menjelaskan cara kerja blockchain:

Kehebatan Teknologi Web 3.0

Teknologi sebelumnya, ternodai dengan “eksploitasi data yang dihasilkan pemakai”. Pada teknologi Web 3.0, data itu milikmu sendiri dan ditopang dengan blockchain. Data yang mengalir, terenkripsi. Orang bisa berbagi data dan menguangkan data itu, secara aman.

  1. Tidak Ada Monopoli Infrastruktur. Tidak ada monopoli infrastruktur karena tidak terpusat pada server milik perusahaan komersial terkenal. Blockchain merupakan buku-besar yang memvalidasi setiap transaksi data, dengan persetujuan seluruh komputer yang menopang blockchain, sehingga tidak mungkin ada manipulasi.
  2. Akses Lebih Mudah dan Cepat. Lebih mudah dan cepat dalam akses informasi. Bukan hanya dari smartphone dan komputer/laptop.
  3. Layanan Tak-Terlihat. Kita tidak perlu melihat akun yang ditangguhkan, penolakan layanan terdistibusi, redundancy, backup setiap detik, dll.
  4. Blockchain tanpa perantara dan birokrasi. Bayangkan kamu kredit rumah dengan perantara bank, atau bayar barang yang kamu beli dari Shopee dengan sistem pembayaran pihak-ketika (bank, rekber, dll.). Tidak ada lagi, karena semua dijalankan P2P (peer to peer, langsung tanpa perantara).

Video ini menjelaskan cara kerja blockchain:

Modus Utama Web 3.0

Ada empat modus utama yang terjadi di Web 3.0

  1. Memperkenalkan kelangkaan digital dan memulihkan kekuatan harga kepada pembuat konten;
  2. Menciptakan konten sebagai tindakan investasi, bukan hanya altruisme;
  3. Model ekonomi baru yang mendistribusikan kekayaan ke seluruh lanskap pencipta;
  4. Memiliki konten sebagai “milik saya” dan menciptakan platform sendiri.

NFT dan Kelangkaan Aset Digital

Kita jarang temukan kelangkaan di internet, padahal kita bisa miliki dan pamerkan kelangkaan itu sebagai aset berharga.

Mengapa kita jarang temukan kelangkaan di internet?

Konten tanpa batas, mengalami komoditisasi, produksi tanpa henti, dan kemiripan (karena dibuat dengan pengalaman, pengetahuan, dan aplikasi yang hampir sama) terjadi terus menerus. Kalimat baru, dipakai di mana-mana, kemudian usang begitu saja. Foto, meme, video, ilustrasi, berita, artikel, yang hampir sama.

NFT datang menghargai kelangkaan.

NFT (non-fungible tokens) mengembalikan kendali suatu item menjadi langka dan keaslian mereka ada di tangan pemiliknya.

Bayangkan, kamu punya foto Difarina Indra ketika masih latihan di Rembang, sebelum ngehit bersama Adella, kemudian kamu ingin menjual foto itu.

Pembeli terakhir foto yang kamu NFT akan menjadi pemilik foto itu. Namun foto itu masih bisa berbagai keuntungan dan terprogram. Tenang, Bestie.. saya akan jelaskan ini.

Dengan NFT, akan ketahuan, siapa pemilik asli suatu karya digital. Tidak terbatas foto. Bisa video, ilustrasi, berita, artikel, musik, desain, dll. Kita tidak perlu dengar percekcokan siapa pemilik suatu karya.

NFT bukan masalah platform jual beli, tetapi tentang kepemilikan dan pengalaman menikmati karya.

Kamu bisa menjadi kurator, pelelang, atau penikmat karya.

Membeli NFT sama seperti mengkoleksi dagangan. Ketika saya punya 1 foto langka, foto itu bisa saya pamerkan atau disimpan orang lain lain, seperti kalau saya mengadakan pameran foto di suatu gedung. Foto ini ada di katalog, di media, dll. Yang terpenting: dunia tahu, foto itu “milik saya”.

Patronase+ : Kreator Berinvestasi, Bukan Sekadar Altruisme

Pembuat konten dapat memanfaatkan kepentingan pribadi penggemar untuk memonetisasi pada titik harga yang lebih tinggi. Monetisasi bisa dilakukan dari lebih sedikit penggembar. Ini perpindahan model donasi tradisional (pengguna membayar untuk memberikan manfaat kepada pencipta, seperti di kasus saya beli ebook); yang terjadi: pengguna bisa bayar lebih untuk sesuatu yang dianggap menguntungkan dirinya.

Web 3.0 berbeda: token adalah investasi. Token mendanai pencipta sekaligus menguntungkan pemenganya, jika nilainya meningkat.

Tokenized. Elemen investasi ini tidak ada di Web 2.0 yang penuh dosa keji, karena Web 2.0 tidak kenal catatan kepemilikan on-chain seeprti NFT atau token sosial (misalnya: menjual ulang video TikTok yang diunduh dari aplikasi TikTok).

Suatu karya (teknologi, seni), yang sudah terdaftar, bisa memakai sistem berbagi saham, seperti di kasus Mario Gabriele di tahun 2021 dari The Generalist.

Model Ekonomi Baru yang Terprogram

Suatu karya, sering bersifat kolaboratif. Pembuatan seni instalasi, lagu rock, performance art, video kreatif, dll. Web 2.0 tidak bisa melacak kolaborasi seperti ini. Orang ngertinya nama penyanyi, padahal di dalamnya peran aranjer dan EO mungkin tidak kalah besar.

Bayangkan jika tak-terlacak siapa saja yang ikut kolaborasi di balik suatu karya. “Saya capek bikin produksi ini tetapi cuma disebut di credit title.”.

Kontribusi bisa diprogram, nanti aliran dana ke mana saja, dan berapa persen. Bayangkan juga jika ini creative agency atau production house, atau suatu studio digital film animasi. GIF Meme bahkan bisa ditautkan ke alamat NFT ketika orang membagikan NFT asli di dalam artikel mereka, dan melacak alamat on-chain ini.

DAO dan Kepemilikan Komunitas

Masih ingat monopoli platform di Web 2.0?

Terjadinya ketidaksetaraan di lanskap creator, di mana ada kendali terlalu besar dari platform terhadap creator dan pekerjaan mereka melalui kepemilikan alat produksi dan distribusi konten.

Ini bisa diubah dengan mengubah “siapa yang memiliki kendali” atas alat-alat produksi itu.

DAO (Decentralized Autonomy Organization) dan mekanisme kepemilikan kolektif lainnya menciptakan jalur untuk mengganggu cengkeraman terpusat yang dimiliki platform atas lanskap pencipta dengan memungkinkan pencipta untuk bekerja secara kolaboratif tanpa mediator eksternal yang mendikte persyaratan keterlibatan.

Tata-kelola diputuskan anggota, dan tidak ada pemegang saham eksternal yang menekan untuk mendapatkan keuntungan. Dalam DAO pembuat konten, pemilik adalah peserta: yang membuat konten, melakukan distribusi, mengkonsumsi, dan memanfaatkan nilainya.

Sebaliknya, dalam DAO pembuat konten, pemiliknya adalah peserta: mereka yang membuat konten, mendistribusikannya, dan mengonsumsi serta menghargainya.

Contohnya:

Super Rare (Market Place dan NFT Art)
https://superrare.com

Banyak orang merasa teknologi Web 3.0 tidak terlalu berpengaruh bagi mereka. Sepintas teknologi Web 3.0 terlalu rumit. Semua teknologi memang rumit kalau dipikir rumit, namun kita sering rasakan kekuatan teknologi Web 3.0.

Sebenarnya, kita sering mengakses dan merasakan teknologi Web 3.0

Artificial Intelligence

Artificial Intelligence (AI) artinya “Teori dan pengembangan sistem komputer yang bisa lakukan tugas-tugas yang biasanya butuh kecerdasan manusia, seperti: persepsi visual, pengenal ucapan (speech recognition), mengambil keputusan, dan penerjemahan.” (Oxford Dictionary of Phrase and Fable, 2nd Edition).

Kita sering pakai artificial intelligence.

  1. Peta dan Navigasi. Setiap kita memakai voice search (“Okay, Google..”), menyebutkan nama tempat atau “restoran ayam goreng..”, kemudian Google tampilkan nama-nama restoran ayam goreng di sekitarmu “sekarang”, serta rute ke sana, sebenarnya kamu sedang pakai kecerdasan buatan. Aplikasi seperti Google Maps, di-training untuk mengenal perubahan, seperti “kondisi traffic sekarang”, rute terdekat, dll.
  2. Deteksi dan Pengenalan Wajah. Seperti ketika kita sedang identifikasi “wajah saya” sebagai pemilik Android yang sedang saya pakai. Atau ketika mengisi absen dengan sistem setor-muka. Aplikasi mengenal identifikasi garis-wajah yang unik, kemudian mengenal “siapa” yang sedang mereka hadapi.
  3. Editor Teks atau Koreksi Otomatis. Teknologi ini bisa kita kenal ketika mengetik dengan Grammarly. Segera ketahuan, tingkat readibility, periksa spelling dan grammar, serta memberikan saran kata yang artinya berdekatan. Teknologi semacam ini bukan lagi hal asing.
  4. Algoritma untuk Search dan Rekomendasi. Google sudah lama terapkan ini. Begitu kamu mengetikkan keyword, dengan cepat ia memberikan “suggest” (saran) yang berdekatan. Data apa saja yang diketikkan pemakai, termasuk auto-backspace (yang kamu koreksi sebelum tekan “Search”), juga didata dan dianalisis.
  5. Chat Bot. Banyak sekali layanan pembuatan bot, yang bisa berfungsi sebagai mesin-penjawab (answering machine) yang kamu training untuk menjawab chat orang, ketika kamu sedang tidak online. Misalnya, jika ada pelanggan bertanya tentang “harga”, maka chat bot kamu program untuk menjawab, “Hai, apa kabar? Ini saya sampaikan price list terbaru, silakan dilihat-lihat dulu..” kemudian tampil gambar berisi daftar harga terbaru dari produk kamu.
  6. Asisten Digital. Google bisa menjadi asisten digital kamu. Produk lain seperti Kalender, Kontak, terintegrasi dan siap-pakai. Atau di Android kita bisa ucapkan, “Buka Kalender..” maka Android akan membuka aplikasi Kalender. Versi paling dasar, seperti itu. Asisten Digital bisa menyalakan alarm, memberitahukan agenda kamu besok, atau menjalankan aplikasi pembersihan sistem secara otomatis.
  7. Media Sosial. Jelas pakai artificial intelligence. Media sosial punya sistem untuk memblokir kata-kata yang dianggap “blacklist”, bisa menyajikan Beranda sesuai preferensi yang kamu buat, serta memberikan saran cerdas yang dia anggap sesuai profile kamu.
  8. Pembayaran Elektronik jelas pakai artificial intelligence. Sistem seperti pembaruan PIN, transfer, memeriksa syarat perbankan, mengamati pola penipuan, dll. Tanpa memakai teknologi artifical intelligence, sistem pembayaran akan ribet, tidak-aman, dan sangat lamban.

3D Graphics

Sekarang zaman grafis 4K dan realitas virtual. Teknologi 3D Graphics sering kita pakai. Contohnya, Google Arts and Culture. Ini sering disarankan bagi orang-orang yang ingin berkunjung ke museum, secara virtual. Ketika mereka akses museum digital, mereka benar-benar terasa memasuki sebuah museum, melihat karya seni dan artefak sejarah, kemudian ada informasi item yang sedang diakses. Pengalaman menjelajahi ruang dalam augmented reality dan virtual reality menjadi lebih terasa. Misalnya, kita bisa ajak anak dan keluarga untuk mengunjungi Monas (Monumen Nasional) Jakarta, Monumen Lubang Buaya, atau museum sejarah. Ada banyak pilihan.

Untuk akses serunya 3D Graphics di era Web 3.0 kamu bisa pakai Google Arts and Culture dari PlayStore.

Google Arts and Culture:
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.google.android.apps.cultural

Web Desentral

Kalau mau gambaran singkat tentang perbedaan Web 1.0, 2.0, dan 3.0, ingat ini:

Web 1 memperkenalkan “links”. Web 2.0 ramai di “likes”. Web 3.0 memakai “tokens”. Web 1.0 : berisi file statis dan link yang bisa diklik. Web 2.0 sudah bisa RSS, embed format file yang lebih kompleks: image, video, feed media sosial, dll. File berada di server dan dikuasai perusahaan dan platform terkenal. Web 3.0 desentral, tidak berpusat, dengan arsitektur teknologi yang lebih dahsyat.

Web juga bisa dibuat desentral. Web yang desentral, akan tahan-sensor dan “unstoppable“.

Bayangkan kamu punya data dengan format “ipfs” (interplanetary file system, sistem file antarplanet) di jaringan desentral. File kamu tidak bisa dihapus, domain kamu bisa menjadi NFT (non-fungible token) di blockchain. Tidak bergantung pada 1 server. Backup dilakukan real-time “setiap detik”.

Cara Membuat Web Desentral

Beli domain unstoppable. Kamu bisa beli dari Unstoppable Domains.

Unstoppable Domains:
https://unstoppabledomains.com

Mei 2021, mereka punya 2 TLD (top-level domain) .crypto dan .zil, .coin, .wallet, .bitcoin, .888 .nft .dao dan .blockchain Selain .zil (yang jalan di blockchain Zilliqa), ekstensi lain pakai ETH (Etherium). Domain yang kamu beli di sini, merupakan NFT, artinya: aset unik dan statusnya milikmu.

Sampai unstoppable domain menerapkan L2, kamu harus bayar biaya GAS untuk klaim domain kamu di blockchain Ethereum. Caranya dijelaskan di web Unstoppable Domain. Kamu juga bisa pakai domain kamu sebagai wallet untuk transaksi, dengan fitur DOPE.

Selanjutnya, desain web kamu. Bisa dengan memakai template yang sudah tersedia, atau memakai jasa web developer.

Karena tidak butuh server, kamu pakai IPFS.

Tentang apa itu IPFS, tonton video ini:

 

Kamu bisa akses dan simpan file di Pinata Cloud *) Gratis dan aksesnya supercepat.

Pinata Cloud
https://pinata.cloud

Pakai saja Pinata untuk simpan file-file kamu, di bawah 1GB. File di Pinata memakai format IPFS.

Setelah semua selesai, tinggal sebarkan alamat domain kamu, dan pakai seperti biasa.

Postmortem

Setelah mengenal teknologi Web 3.0, saya akan kembali tegaskan: tujuan saya bukan sekadar mengenalkan (karena sebenarnya ini teknologi sudah lama), tetapi sebagai titik-belok tentang pertanyaan cerdas dari Bill Gates tentang “arah internet” dalam “content is king”.

Apakah kita akan biarkan platform mendominasi earning kita?

Apakah kita akan lebih menghargai content (dari sisi kepemilikan dan finansial) dengan cara Web 3.0?

Dan apa yang akan kamu lakukan setelah kita “sedang” berada di Web 3.0?

Semoga menjadi diskusi lebih lanjut. [dm]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *