SEMARANG (jatengtoday.com) – Permasalahan banjir di Kota Semarang tidak hanya terjadi di wilayah dataran rendah atau di bagian utara. Tetapi belakangan ini juga kerap menghantui sejumlah wilayah di Semarang atas seperti Tembalang dan Banyumanik.
Hal itu dipertanyakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang. Dewan meraba ada hal yang tidak beres terkait kebijakan Tata Ruang Kota Semarang.
“Dampak banjir beberapa waktu lalu cukup parah. Tidak hanya air saja, namun juga ada lumpur dan batu. Ini kemungkinan salah satu akibat penataan wilayah di Kecamatan Tembalang,” ungkap Wakil Ketua DPRD Kota Semarang, Agung Budi Margono, Selasa (19/2/2019).
Dikatakannya, permasalahan tersebut tidak bisa dianggap enteng. Dia meminta agar Pemkot Semarang melakukan evaluasi dan mengkaji secara mendalam permasalahan banjir yang terjadi di wilayah dataran tinggi tersebut. “Langkah-langkah darurat yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum juga harus dievaluasi,” katanya.
Dia menduga ada kebijakan Tata Ruang Kota yang tidak tepat. Untuk itu, pihaknya meminta Pemkot Semarang melakukan evaluasi terhadap tata ruang di wilayah Kecamatan Tembalang dan Banyumanik. “Harus diketahui penyebab mengapa di wilayah Tembalang dan Banyumanik, yang merupakan wilayah dataran tinggi malah terjadi banjir?” ujarnya.
Menurutnya, penanganan darurat yang dilakukan DPU juga belum maksimal. Pasalnya, banyak laporan masyarakat bahwa tanggul darurat yang telah dibangun oleh DPU telah mengalami kerusakan.
“Bahkan ada yang ambrol, sehingga rawan jebol saat debit air dari Sigar Bencah dan sekitarnya tinggi. Apalagi saat ini musim hujan masih berlangsung sehingga potensi banjir bisa saja terjadi lagi,” katanya.
Untuk menangani masalah banjir, lanjutnya, tidak bisa hanya dilakukan secara parsial. Namun penanganan banjir harus dilakukan secara menyeluruh.
Menurut Agung, hingga saat ini masih banyak pengembang perumahan tidak taat aturan. Penataan perumahan telah diatur secara rinci melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2013 terkait Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Perda Bangunan Gedung serta Perda Rencana Induk Sistem (RIS) Drainase Kota Semarang.
Pengembang perumahan harus menaati Perda RTRW, maupun Perda Bangunan Gedung serta Perda Rencana Induk Sistem (RIS) Drainase Kota Semarang. Sebab, dampak lingkungan jangka panjangnya sangat berbahaya.
“Pemerintah tidak boleh asal-asalan memberikan izin. Misalnya berdiri di daerah terlarang atau kawasan hutan, semestinya pemerintah tidak memberikan IMB (Izin Mendirikan Bangunan),” tegasnya.
Dalam Perda Rencana Induk Sistem (RIS) Drainase Kota Semarang, terang dia, juga diwajibkan bahwa setiap perizinan harus mendapatkan Kajian Drainase.
“Pengembang yang melanggar bisa dikenai sanksi, baik sanksi administrasi hingga sanksi pidana. Sanksi administrasi mulai peringatan tertulis hingga penutupan kegiatan,” bebernya.
Sedangkan sanksi pidana bagi pengembang yang tidak menjalankan aturan, menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang pembentukan per-UU, terancam hukuman maksimal 6 bulan kurungan atau denda Rp 50 juta.
“Harus ada penindakan dalam pengawasan. Terutama pengawasan di kawasan Semarang di bagian dataran tinggi. Apakah sudah sesuai dengan Perda RTRW, peruntukan lahan, KDB (Koefisien Dasar Bangunan) dan kewajiban pembuatan embung bagi pengembang yang memiliki areal lebih 5 hektare,” katanya.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Semarang, Iswar Aminuddin, sebelumnya mengatakan hilangnya daerah resapan berganti menjadi wilayah pengembangan perumahan menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya banjir di Kota Semarang.
Pasalnya, banyak pengembang di wilayah dataran tinggi Kota Semarang melanggar aturan karena tidak menyediakan embung. Hal tersebut menjadi pemicu terjadinya banjir di wilayah dataran rendah.
“Berdasarkan hasil identifikasi, penyebab banjir di Kota Semarang ada 11 hal. Saya lupa secara rinci. Tetapi paling inti sebetulnya, masalah sampah dan perubahan fungsi lahan,” katanya.
Dijelaskannya, selain masalah sampah, perubahan fungsi lahan ini menjadi masalah yang harus mendapatkan penanganan serius. “Awalnya daerah tersebut merupakan daerah resapan, tetapi sekarang menjadi bangunan (perumahan). Pasti menjadi run off, airnya bablas,” katanya.
Ketika ada perubahan fungsi lahan, lanjutnya, paling tidak pihak pengembang yang melakukan investasi di wilayah dataran tinggi tersebut harus menyediakan fasilitas embung.
“Embung tersebut harus sama dengan jumlah kapasitas lahan yang dibuka. Berapa run off yang akan terjadi itu kan bisa dihitung. Maka mereka harus membangun embung sesuai dengan kapasitas yang dibutuhkan. Toh, mereka sudah punya konsultan. Maka harus punya komitmen membangun embung,” katanya.
Mengenai masalah ini, Iswar menegaskan bahwa Dinas Pekerjaan Umum akan berjuang agar setiap perizinan pengembangan perumahan yang dikeluarkan harus dikawal untuk pembangunan embung. (*)
editor : ricky fitriyanto