SEMARANG (jatengtoday.com) – Sebelum era 1990-an, layanan transportasi umum masih banyak ditemui bisa menjangkau kawasan permukiman atau perumahan. Misalnya angkutan kota, bus umum atau bus Damri. Namun sekarang ini, layanan transportasi umum yang menjangkau wilayah permukiman itu justru terkikis bahkah hilang.
“Masifnya pertumbuhan permukiman di pinggiran perkotaan belum diimbangi dengan layanan akses angkutan umum. Sehingga masyarakat mengandalkan ojek daring ataupun kendaraan pribadi (roda dua maupun roda empat),” kata Wakil Ketua Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia, Pusat Djoko Setijowarno,Rabu (11/10/2023).
Dampaknya, beban masyarakat untuk memenuhi kebutuhan transportasi bertambah banyak. Baik untuk biaya ojek online maupun untuk membeli kendaraan. Belum lagi setiap warga terutama generasi muda akan membeli rumah.
“Selain harus menyisihkan uang dari gaji bulanan untuk mengangsur kepemilikan rumah, juga disisihkan pula untuk mengangsur kendaraan. Tentunya akan menjadi beban pada penghasilan keluarga, apalagi penghasilan yang didapat hanya sebatas UMK,” katanya.
Beban masyarakat semakin berat, sebab harga rumah semakin mahal, sedangkan pendapatan minim atau bahkan tidak mengalami peningkatan. Dilematis pula bagi pengemudi ojek, tarif tidak naik, pendapatan tidak akan bertambah. Sedangkan masyarakat perkotaan pasti akan keberatan jika tarif ojek naik.
“Tarif naik, penumpang berkeberatan dan berpengaruh penghasilan akan berkurang. Sementara kebutuhan hidup terus meningkat. Hal seperti ini baru menyadarkan kita, bahwa ini karena masih minimnya fasilitas transportasi umum di kawasan hunian,” katanya.
Pasalnya, kawasan perumahan yang ditempati tidak memiliki fasilitas transportasi umum menuju tempat kerja. Perumahan menjadi kurang layak huni jika tidak diimbangi akses transportasi umum. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman tidak mewajibkan fasilitas transportasi umum sebagai bagian dari sarana umum.
“Undang-undang tersebut perlu direvisi dengan memasukkan kewajiban pembangunan perumahan dan permukiman disertai penyediaaan fasilitas akses transportasi umum. Ketergantungan publik terhadap ojek ini akibat tata ruang yang semrawut,” ujarnya.
Misalnya, di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), komposisi angkutan umum hanya tersisa 2 persen, sedangkan mobil 23 persen dan sepeda motor mencapai 75 persen. “Tidak ada sinkronisasi antara membangun kawasan perumahan dan layanan transportasi,” beber dia.
Dikatakannya, ongkos belanja transportasi masyarakat di Indonesia, rata-rata di atas 25 persen dari pendapatan tetap setiap bulannya. “Sementara di banyak negara sudah bisa ditekan di bawah 10 persen (standar Bank Dunia), bahkan di Singapura 3 persen, Paris 3 persen, Beijing 7 persen,” katanya.
Sepeda motor, baik kendaraan pribadi maupun ojek daring, kian menjadi pilihan transportasi masyarakat karena cenderung lebih gesit. Terlebih mendapat subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari pemerintah. “Padahal, tingkat kecelakaan sepeda motor mendominasi angka kecelakaan lalu lintas,” katanya.
Berdasarkan data olahan Integrasi Sistem Pendataan Laka Lantas Online (IRSMS) 2021, tingkat presentasi fatalitas kecelakaan lalu lintas selama 2020 didominasi motor, yaitu sebesar 81 persen.
“Sementara, kecelakaan kendaraan beroda empat sebesar 8 persen; truk sebesar 7 persen; sepeda 2 persen; sedangkan kendaraan lain seperti becak, cikar/delman, bajaj/bemo/bentor, kendaraan alat berat, dan kereta api sebesar 1 persen,” katanya.
Dari data Kepolisian Negara Republik Indonesia, jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas tahun 2020 mencapai 23.529 jiwa atau setara dengan tiga jiwa meninggal dunia per jam.
“Berdasarkan kategori usia, korban meninggal dunia didominasi usia produktif dengan kategori usia 15-34 tahun dan di posisi kedua adalah kategori usia 35-60 tahun,” kata akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata itu.
Fenomena ini sayangnya tidak segera direspons oleh pemerintah. Mestinya, pemerintah menerapkan kebijakan pembangunan kawasan perumahan diimbangi ada layanan transportasi umum. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memberikan ruang untuk memperhatikan keberadaan angkutan umum di daerah. (*)