in

Tangisan Anak Kecil Kedinginan Bikin Dokter Budi Terenyuh Bangun Rumah Darurat di Lombok

“Pemerintah memang berjanji akan membuatkan rumah. Tapi pengalaman kami di Aceh, membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun baru bisa diwujudkan,”

SEMARANG (jatengtoday.com) – Bencana gempa bumi di Lombok masih menyisakan perih mendalam. Ribuan warga kehilangan rumah akibat roboh diguncang gempa. Mereka masih tinggal di pengungsian atau penampungan menggunakan tenda darurat.

Pemerintah memang menjanjikan akan memberi bantuan pembangunan rumah bagi korban bencana gempa. Namun hal itu tidak bisa dilakukan secara cepat. Sedangkan warga di penampungan menanggung beban psikologis berat. Warga memerlukan bantuan cepat karena kondisi darurat.

“Tangisan anak kecil kedinginan karena rumahnya roboh, membuat kami harus secepatnya ke Lombok Utara,” kata DR dr Budi Laksono, pendiri International WC For All Organization, kepada jatengtoday.com, Rabu (15/8).

Tenda memang menjadi pilihan, tapi jauh dari kecukupan. Walau saat ini masih terus diupayakan. “Lebih dari 5 hari hidup di tenda adalah kondisi sulit. Pemerintah memang berjanji akan membuatkan rumah, tapi berdasarkan pengalaman kami di Aceh, bisa membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun baru bisa terwujud,” katanya.

Bersama para relawan, Budi bersikeras mengupayakan ke berbagai pihak, termasuk Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), TGB M Zainul Majdi, agar rumah darurat untuk korban gempa di Lombok segera terealisasi.

“Rumah cepat keluarga pertama ditempati masyarakat Dusun Jugil Barat, Desa Sambik Bangkol, Gangga, Lombok Utara,” katanya.

Untuh tahap pertama, lanjutnya, ia bersama para relawan akan membuat sebanyak 25 rumah darurat jenis AB6, dengan izin dan koordinasi dengan BNPB. “Bila telah selesai, silakan donatur bisa datang dan meresmikan. Kami akan advokasi sehingga targetnya mencapai 1.000 rumah sementara. Bisa dibuat oleh BNPB, atau donor lain,” katanya.

Ia menegaskan, program tersebut murni kegiatan sosial. “Misi kami adalah gotong royong membuat rumah cepat dan murah. Toilet sehat, water purifier, medical rescue, obat untuk 250 pasien, tenda dan makan, minuman mandiri,” katanya.

Selain itu, juga untuk penyediaan disposal Amphibian Latrine dengan konsep WC Umum untuk pengungsi yang mudah, murah dan sehat. “Bisa dengan atau tanpa air,” katanya.

Konsep jamban amphibi ini merupakan jamban yang bisa dipakai dengan atau tanpa air. “Bagi penggunaan camp pengungsi ini sangat baik, karena suplai air di camp faktanya kadang terhambat. Konsep ini sukses diuji coba saat bencana merapi disaster. Bahkan lebih sustainable dibanding jamban konvensional, karena air yang terlambat. Jamban ini dibuat cuma 3 jam. Untuk 5 bilik,” katanya.

Pembangunannya, hanya membutuhkan biaya Rp 350 ribu per bilik. “Sehat dan nyaman. Bahan lokal, karena cuma pakai kayu, atau bambu. Plastik pertanian, paku, dan kloset keramik,” katanya. (*)

editor : ricky fitriyanto