in

Ribuan Orang dari Lintas Agama Sinau Bersama Cak Nun dan Gamelan Kiai Kanjeng

SEMARANG (jatengtoday.com) – Ribuan orang dari lintas agama membaur menjadi satu di pelataran Kelenteng Sam Poo Kong, Kota Semarang, Kamis (18/4/2019) malam. Di bawah temaram rembulan usai hujan, mereka duduk lesehan sembari menikmati kopi di halaman berpaving untuk menyimak Sinau Bersama Cak Nun dan Gamelan Kiai Kanjeng.

Acara bertajuk “Peran Kebudayaan Nusantara sebagai Penggerak Terciptanya Persatuan Nasional” itu berlangsung mesra dan merdeka. Sebab, setiap pengunjung bebas, tertib, dan tidak ada aturan yang mengekang. Lelaki, perempuan, bercampur menjadi satu. Bahkan tidak memandang apa agamanya.

Membuka acara itu, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun mengajak belajar tentang apapun, bahkan belajar hal paling kecil di lingkungan sekitar. Ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang tak terduga. “Wedhus mangan (tanaman) kacang itu salah apa tidak? Kucing makan gereh (lauk) itu salah apa tidak? Pohon itu punya salah apa tidak? Air banjir itu salah apa tidak?” kata Cak Nun.

Pertanyaaan-pertanyaan spontan yang dilontarkan Cak Nun itu tak jarang membuat dahi pengunjung berkerut. Namun hal itu mengajak semua orang berpikir agar menjadi pribadi yang cerdas dan bijaksana. Sehingga mampu membaca dan mengetahui diri sendiri, alam, hewan, hingga ketuhanan. “Lantas mengapa kalau ada kejadian banjir, kemudian disebut bencana? Apakah air itu salah?” lontarnya.

Kondisi saat ini, seringkali orang mudah menyalahkan orang lain karena perbedaan. Cak Nun menjelaskan, bahwa yang bisa salah hanya dua, yakni manusia dan jin. Selebihnya tidak bisa disalahkan. Identitas (jatidiri) manusia pun tidak boleh dipersalahkan. “Orang terlahir Jawa, China dan seterusnya, tidak boleh dipersalahkan. Yang bisa disalahkan adalah perilakunya atau kelakuannya. Yang dihukum itu kelakuannya, bukan identitasnya. Babi itu tidak haram. Babi itu haram kalau dimakan (orang Islam),” terangnya.

Kehidupan tentu saja terdiri atas berbagai perbedaan. “Jadi, terserah Anda mau Konghucu, Kristen, Islam, atau membikin agama sendiri. Hubungan sesama manusia urusannya bukan apa agamamu. Soal konsep pemahaman tuhan itu urusanmu masing-masing, tidak usah berdebat dengan tetangga. NU monggo, Muhammadiyah monggo, Kristen monggo, sak karep-karepe,” katanya.

Lebih lanjut, kata Cak Nun, urusan hubungan antar manusia hanya ada tiga. Pertama; jangan mencuri, kedua; jangan menghina orang, dan ketiga; jangan membunuh orang. “Seluruh keadaan di dunia ini hanya tiga itu. Kalau Anda tidak melakukan tiga hal itu, berarti Anda menjadi manusia yang beres satu sama lainnya. Jangan menyalahkan seseorang karena dia HTI (Hizbut Tahrir Indonesia),” katanya.

Cak Nun meminta Mulyadi yang merupakan penganut agama Buddha untuk menyapa jamaah. Mulyadi pun kemudian menyampaikan salam dengan menggunakan kalimat “Namo Buddhaya..”. Jamaah pun menjawab “Waalaikum salam,”. Begitupun agama lainnya, Kristen menggunakan “Shalom..”, Konghucu adalah “Wei De Dong Tian”, Hindu menggunakan “Om Swastiastu”, dan seterusnya. “Itu hanya soal (perbedaan) ‘bahasa’. Semuanya bertujuan sama yakni memberikan salam kedamaian, keselamatan dan seterusnya,” katanya.

Selebihnya Cak Nun juga mengajak belajar melalui berbagai permainan. Ia juga mencontohkan melalui komposisi musik. Bahwa terciptanya sebuah lagu, ataupun instrumen musik yang indah, adalah perpaduan dari berbagai unsur bunyi berbeda secara harmonis. Cak Nun juga meminta sejumlah anak-anak naik panggung untuk mulai sinau memahami hidup. “Tidak usah madrasah-madrasahan kalau tidak mampu memahami, membaca, memaknai, setiap peristiwa kehidupan,” ujarnya.

Di sela belajar permainan, Cak Nun juga melontarkan pertanyaan untuk jamaah dewasa tentang apa yang paling perlu dipelajari dari Laksamana Cheng Ho. Sosok panglima yang melakukan ekspedisi dengan armada kapal terbesar dan hebat sepanjang masa. Membawa sebanyak 307 kapal dan kurang lebih 27.000 Anak Buah Kapal (ABK). Tujuh kali keliling dunia dengan selamat, ke negara-negara Asia, Timur Tengah, hingga Afrika.

“Apakah Cheng Ho ke sini menjajah? Apa perbedaan Cheng Ho dengan bangsa-bangsa lain yang datang ke Indonesia?” tanya Cak Nun yang kemudian dijawab oleh sejumlah jamaah bahwa Cheng Ho datang bukan untuk menjajah, sedangkan bangsa-bangsa lain yang datang ke Indonesia kala itu untuk merampok.

“Cheng Ho beragama Islam. Ia memimpin puluhan ribu tentara yang beragam agama, bahkan agama Islam (saat itu) minoritas. Cheng Ho membuktikan kepemimpinan yang baik. Jadi, jangan melihat agama, identitas. Tapi lihatlah kebijaksanaannya. Cheng Ho ke sini bukan untuk menjajah, tapi untuk silaturrahmi,” kata Cak Nun.

Lebih lanjut, Cak Nun menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh menjadi korban dari siapapun. “Tentara, polisi harus bersatu menjaga NKRI. Kita butuh pemimpin yang lebih baik di masa yang akan datang. Nomor satu adalah anak muda harus ‘teteg, mantep’, untuk menatap masa depan,” tegasnya. (*)

editor : ricky fitriyanto