in

Regulasi Politik Uang dalam Pilkada Dinilai Masih Punya Kelemahan

Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Kota Semarang Naya Amin Zaini. (baihaqi/jatengtoday.com)

SEMARANG (jatengtoday.com) — Gelaran pemilihan umum (pemilu) serentak pada 2024 semakin dekat. Sayangnya, beberapa regulasi penanganan pelanggaran dalam pesta demokrasi tersebut masih memiliki kekurangan.

Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Kota Semarang Naya Amin Zaini mengatakan, politik uang dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Pasal 187 A ayat (1) menjelaskan tentang politik uang dilakukan oleh pemberi. Sedangkan Pasal 187 A ayat (2) membahas tentang politik uang dilakukan oleh penerima.

Menurut Naya, Pasal 187 A ayat (1) dan (2) memiliki kelemahan karena antara pemberi dan penerima politik uang sama-sama dijerat oleh hukum. Istilahnya ada tanggung renteng.

“Sehingga pihak yang menerima tidak mungkin berani melapor, sebab apabila melapor sama saja ‘bunuh diri’ karena ia juga akan dipidana,” ungkap Naya saat dikonfirmasi, Rabu (29/12/2021).

Ancaman pidana sesuai pasal ini paling singkat dipenjara 36 bulan dan paling lama 72 bulan, serta denda minimal Rp200 juta, maksimal Rp1 miliar.

Selama ini, pencegahan dan penindakan tindak pidana politik uang menjadi salah satu fokus Bawaslu Kota Semarang. Meskipun jika melihat data penanganan pelanggaran politik uang terbilang sedikit.

Dalam pilkada Kota Semarang 2020 lalu, terdapat 4 kasus tindak pidana politik uang. Sebanyak 3 kasus merupakan temuan pengawas pilkada, sementara 1 kasus adalah laporan dari masyarakat.

Selain dalam undang-undang pilkada, politik uang juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Regulasi tersebut ternyata juga memiliki kelemahan.

Dalam Pasal 523 ayat (1) dibahas tentang politik uang dalam masa kampanye. Ayat (2) membahas politik uang dalam masa hari tenang. Adapun ayat (3) tentang politik uang dalam masa pungut hitung.

Menurut Naya, kelemahan regulasi politik uang dalam Pasal 523 ayat (1) dan ayat (2) yaitu adanya subjek hukum yang bersifat limitatif dan terbatas.

Pasal itu hanya dapat menjerat tim kampanye, peserta kampanye, dan peserta pemilu. “Selain subjek itu tidak dapat terjangkau oleh hukum,” tuturnya.

Naya mengatakan, politik uang harus ditolak karena akan merugikan banyak orang. Pemimpin yang dipilih karena politik uang akan berpikir dan berupaya mengembalikan modal yang dikeluarkan ongkos politik uang.

Menolak politik uang juga dapat membuat pemimpin tegas menakhodai birokrasi dan pihak swasta, karena ia tidak ada kepentingan untuk kecipratan proyek. (*)

editor : tri wuryono