DEMAK (jatengtoday.com) – Nasib 890 karyawan PT. Konesia Sukses Garment yang beroperasi di Kabupaten Demak, Jawa Tengah terkatung-katung. Mereka merasa menjadi tenaga kerja yang tidak mendapatkan perlakuan sebagaimana aturan Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan.
Pasalnya, selama satu tahun delapan bulan terakhir, buruh diwajibkan bekerja secara over time atau melebih batas waktu normal. Namun demikian, buruh tidak diberikan hak upah lembur. Tidak hanya itu, BPJS milik karyawan tidak bisa digunakan karena tidak dibayarkan oleh perusahaan. Sekarang ini ratusan karyawan perusahaan tersebut dirumahkan tanpa kejelasan.
“Perusahaan lalai atas tanggung jawabnya yang mengakibatkan anak karyawan meninggal. Dampak dari tidak aktifnya kartu BPJS milik karyawan yang tidak dibayarkan oleh perusahaan,” ungkap juru bicara buruh, Heri Satmoko, belum lama ini.
Maka dari itu, pertama, buruh mendesak perusahaan segera mengaktifkan BPJS karyawan dengan cara membayar tunggakan. Menurut dia, perusahaan tidak bertanggungjawab, sebab selama ini gaji karyawan telah dipotong untuk iuran BPJS. “Ini sangat penting diperhatikan, agar kasus sebagaimana meninggalnya anak karyawan seperti ini tidak muncul kembali di kemudian hari. Tunggakan pembayaran BPJS tersebut harus segera dibayarkan. Jangan sampai perusahaan lepas tanggung jawab,” tegasnya.
Kedua, karyawan juga mendesak PT. Konesia Sukses Garment untuk membayar kompensasi upah selama karyawan diliburkan atau dirumahkan sejak 20 Agustus 2020 hingga sekarang. “Ini perintah Undang-Undang. Bukan hanya karena permintaan karyawan,” katanya.
Ketiga, perusahaan harus membayar upah lembur selama satu tahun delapan bulan. Perusahaan telah mempekerjakan karyawan secara over time, namun tidak memberikan upah lembur. “Mereka tidak membuat surat perintah kerja lembur, sehingga hal itu menjadi dalih untuk tidak membayar upah lembur tersebut. Dalam kaca mata UU ketenagakerjaan, mereka harus tetap membayar upah lembur tersebut,” katanya.
Lebih lanjut, kata Heri, dalam konteks masalah ini perusahaan sempat minta waktu satu bulan terhitung sejak 1 September 2020. Namun fakta yang terjadi tidak ditepati dan tidak ada jawaban tertulis. “Bahkan ada informasi beberapa waktu belakangan ini pihak perusahaan membawa mesin-mesin ke Tangerang. Nah, melihat kondisi seperti inilah, karyawan melihat bahwa perusahaan tidak beretikat baik. Sehingga kami perlu mengadukan ke DPRD Demak. Pemerintah harus hadir untuk melindungi rakyatnya,” katanya.
Para karyawan bersama serikat pekerja telah mengadukan masalah tersebut ke DPRD Demak pada Senin, 28 September 2020 lalu. Namun perusahaan belum juga menyelesaikan masalah ini.
“Pemerintah harus bisa paling tidak mengantisipasi, jangan karyawan disuruh menuntut sesuai prosedur yang memakan banyak waktu. Diundang Disnaker,pertemuan 1, 2, 3, kemudian membuat risalah, kalau tidak ditemukan solusi harus melanjutkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI),” ujarnya.
Ketua DPRD Demak, Fahrudin Bisri Slamet, mengatakan pihaknya siap mengawal agar masalah mendapat solusi. “Bahkan gaji karyawan telah dipotong untuk membayar BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, namun BPJS karyawan tidak dibayarkan. Mestinya itu bentuk pelanggaran pidana. Jadi bisa dilaporkan ke pihak kepolisian. BPJS tersebut seharusnya kewajiban si pemberi kerja. Ini gaji dipotong dan tidak dibayarkan,” ujarnya.
BPJS Ketenagakerjaan karyawan menunggak sejak Januari 2020. Sedangkan untuk BPJS kesehatan menunggak sejak April 2020. “Ini yang repot kan karyawan. Dampaknya, mereka tidak bisa menggunakan layanan BPJS untuk berobat walaupun mereka sudah membayar iuran. Ini juga harus ada kebijakan dari BPJS, bagaimana ketika mereka sakit. Aturan memang aturan, tapi kebijakan harus ada (solusi),” ungkapnya. (*)
editor: ricky fitriyanto