JAKARTA (jatengtoday.com) — Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dilakukan secara transparan dan hati-hati. Puan memastikan tidak ada upaya mempercepat proses tanpa kajian mendalam, demi menghasilkan regulasi yang berkualitas dan berpihak pada kepentingan publik.
“Terkait dengan KUHAP, DPR tentu saja sampai saat ini masih melakukan proses pembahasan. Dan kami melakukan pembahasan tersebut secara terbuka, mengundang pihak-pihak yang memang harus dilibatkan,” ujar Puan usai Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/7/2025).
Menurut Puan, Komisi III DPR terus menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dan rapat dengar pendapat umum (RDPU) untuk menghimpun masukan dari berbagai kalangan, termasuk pakar hukum dan perwakilan masyarakat sipil.
RUU KUHAP merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan kini telah memasuki tahap pembahasan oleh Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin). Pembahasan di tahap ini lebih fokus pada aspek redaksional setelah sebelumnya dibahas oleh Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR.
Puan menegaskan bahwa tidak ada niatan untuk mempercepat pembahasan secara serampangan. Ia menekankan bahwa proses telah berlangsung sejak beberapa masa sidang lalu dan akan dibuka sepenuhnya kepada publik saat waktunya tiba.
“Jadi kita tidak terburu-buru, kita juga sudah melakukan ini dari bulan-bulan yang lalu. Dan nanti tentu saja kami akan membuka hal ini pada waktunya,” jelasnya.
Komisi III DPR sebelumnya telah mengundang berbagai kelompok masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mengenai RUU KUHAP. Draf regulasi ini ditargetkan bisa disahkan sebelum tahun 2026 agar dapat selaras dengan implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP.
Pimpinan Komisi III menyampaikan bahwa setelah tahap redaksional rampung, draf RUU KUHAP akan dikembalikan ke Panja untuk difinalisasi. Dalam tahap finalisasi ini, usulan substansi dari masyarakat sipil masih bisa diakomodasi, sepanjang mendapat persetujuan dari seluruh fraksi di DPR. (*)
