SEMARANG (jatengtoday.com) – Ketentuan anyar pencairan dana JHT bisa memperparah angka kemiskinan di Jateng. Korelasinya adalah cukup tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang ada di Jateng.
Dengan tegas, Fraksi Partai Gerindra di DPRD Jateng menolak pencairan JHT yang hanya bisa dilakukan saat pekerja sudah berusia 56 tahun atau sudah meninggal dunia.
Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa penolakan dilakukan dan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) tersebut mesti direvisi.
Pertama, kondisi pandemi membuat dunia usaha belum stabil dan kondisi pekerja juga belum menentu.
“Mari sama-sama kita tengok angka PHK di masa pandemi ini. Itu besar! Aturan itu akan membuat pekerja yang terkena PHK, kondisi ekonomi belum stabil akan tambah susah,” kata anggota Fraksi Gerindra DPRD Jateng Yudi Indras Wiendarto, Jumat (18/2/2022).
Berdasarkan data dari Pemprov Jateng pada medio 2021, ada 11.438 pekerja Jateng terkena PHK akibat pandemi Covid-19.
Jumlah itu belum ditambah dengan adanya 32.132 pekerja yang terpaksa dirumahkan dengan alasan yang sama. Bahkan jika ditotal, ada 65 ribuan pekerja yang terdampak kondisi pandemi ini.
Yudi mengatakan, dana JHT ini semestinya bisa segera dicairkan begitu pekerja terkena PHK. Dengan harapan, dana itu bisa digunakan untuk keberlangsungan hidup sehari-hari sampai mendapatkan pekerjaan baru. Atau, dana JHT itu bisa digunakan untuk usaha lainnya.
Tambah Beban APBD
Alasan kedua, jika dana JHT ‘ditahan’ dan sementara pekerja terkena PHK membutuhkan dana tersebut maka akan menambah beban pemerintah daerah.
Kondisi itu akan menambah potensi kemiskinan di Jateng. Sebagaimana data Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng, masih ada 3,93 juta orang miskin di Jateng per September 2021.
Jika dipersentase, ada kenaikan jumlah penduduk miskin Jateng 0,06 persen dalam tiga tahun.
Ditambah lagi ada beberapa daerah di Jateng dengan kemiskinan tinggi. Per September 2021, angka kemiskinan di Kabupaten Kebumen (17,83 persen), Kabupaten Wonosobo (17,67 persen, Brebes (17,43 persen), Purbalingga (16,24 persen), Banjarnegara (16,23 persen), dan Pemalang (16,56 persen).
“Dengan persentase itu, maka angka kemiskinan di Jateng berpotensi tambah. Maka imbas berikutnya adalah butuh dana alokasi dari APBD yang lebih besar untuk mengcover program-program pengentasan kemiskinan,” tandasnya.
Alasan ketiga, dana JHT tersebut merupakan hak pekerja maka sudah semestinya aturan dibuat dengan mendengarkan masukan dari pekerja.
“Ini uangnya pekerja, Jangan ditahan. Kalau buat kebijakan hendaknya melibatkan pekerja. Jadi lebih komprehensif,” ujarnya. (*)