SEMARANG (jatengtoday.com) – Lembaga Studi Sosial dan Agama (Elsa) Semarang mencatat 29 kasus menonjol terkait intoleransi yang mengancam kebebasan berbicara dan berpendapat di Jawa Tengah sepanjang 2018.
Jumlah tersebut meningkat dibanding periode tahun 2017 yang hanya ada puluhan kasus pelanggaran. Mayoritas pelanggaran masih didominasi penolakan terhadap kegiatan berbasis agama.
Tren mengenai pelanggaran kebebasan berbicara dan berpendapat di Jawa Tengah hingga saat ini masih menunjukkan sisi negatif.
Koordinator Advokasi dan Pemantauan Elsa Semarang, Ceprudin, mengatakan pelanggaran intoleransi masih didominasi kasus terorisme, kasus penolakan dan penghentian rumah ibadah, dan pembubaran kegiatan keagamaan.
“Tindakan intoleransi berkutat pada kasus-kasus bernuansa agama, pendirian rumah ibadah, dan konflik horizontal di kalangan masyarakat,” katanya, Kamis (31/1/2019).
Dijelaskannya, kasus bernuansa agama tercatat ada 7. Yaitu perusakan nisan salib di Magelang, perusakan kantor NU di Blora, penganiayaan ulama di Kendal, pemanggilan jemaat aliran keagamaan di Semarang, penolakan imunisasi di Temanggung, penolakan jenazah teroris di Brebes, dan polemik nyanyi di tempat ibadah di Salatiga.
“Dalam kasus-kasus tersebut, polisi mengamankan pelaku,” katanya.
Namun demikian, pihaknya menyangsikan penangkapan tersebut. Sebab, sebagian pelaku yang ditangkap dinyatakan berstatus tidak waras. “Tiga kasus yang pertama, pelaku ditangkap kepolisian, tapi mereka diduga sakit jiwa. Apa benar begitu?” ujarnya memertanyakan.
Sementara kasus-kasus intoleransi yang tercatat yaitu penolakan pemakaman penganut aliran kepercayaan Sapta Darma di Jepara, perusakan gereja, sekolah dan kantor NU di Magelang, penolakan kegiatan peace training di Temanggung, penolakan kedatangan Ustaz Abdul Somad (UAS) di Semarang dan Jepara, konflik MTA dan warga di Kebumen, penolakan sedekah laut di Cilacap, dan penolakan peringatan Asyura di Semarang.
Lebih lanjut, Elsa mencatat kasus penolakan serupa di tahun sebelumnya namun hingga kini masih belum jelas upaya penyelesaiannya. “Penolakan tempat ibadah itu misalnya GITJ di Jepara, Masjid Ahmadiyah Kendal, dan kasus lain. Sedangkan untuk kasus terorisme, ada 14 kasus yang terjadi di Jawa Tengah,” katanya.
Sosiolog agama dari Universitas Wahid Hasyim Semarang, Tedi Kholiludin, menilai, adanya kasus perusakan tempat ibadah dan kasus lain yang serupa menunjukkan bahwa masih adanya gejala penolakan kebebasan berekspresi.
Menurutnya, warga semestinya lebih terbuka dalam menerima perbedaan. “Menerima perbedaan perlu dikampanyekan sebagai bentuk toleransi dalam beragama,” katanya.
Dia juga mendorong agar pemerintah memiliki perhatian khusus terhadap konflik sosial yang terjadi di masyarakat. “Pemerintah harus ikut memikirkan jalan keluar. Misalnya kepastian soal penggunaan bangunan untuk tempat ibadah di Jepara dan Kendal,” katanya. (*)
editor : ricky fitriyanto