SEMARANG (jatengtoday.com) – Rencana penutupan Lokalisasi Argorejo atau sering disebut Lokalisasi ‘Sunan Kuning’ (SK), mengundang kontroversi. Sejumlah pihak mempertanyakan keseriusan pemerintah.
Aktivis dan Pemerhati Sosial, Paskalis Abner, sebelumnya menilai, jangan sampai penutupan lokalisasi hanya dilatarbelakangi oleh kemauan pihak tertentu atas alasan politik.
“Hal penting dan utama adalah bagaimana rencana pemerintah untuk menutup lokalisasi itu benar-benar telah ditelaah. Perlu dilakukan analisis secara komprehensif dan tidak tergesa-gesa. Jangan hanya berdasarkan aspek kepentingan pemerintah saja,” katanya.
Menurutnya, ada banyak aspek yang harus dibahas. Tidak hanya aspek moral saja, tetapi juga ekonomi, kesehatan dan lain-lain. “Apakah selama ini belum ada upaya? Sudah ada upaya. Tetapi upaya selama ini belum serius,” katanya.
Misalnya, setelah Lokalisasi Argorejo ditutup, pekerja seks itu keluar dari Argorejo dan ‘main’ di hotel, padahal dia itu positif HIV, tapi dia sendiri tidak tahu karena tidak diperiksa melalui pendampingan. Menularlah HIV tersebut di tengah masyarakat. Lelaki itu pulang dan berhubungan intim dengan istrinya. Tanpa dilakukan kontrol oleh pemerintah, penyebaran HIV seperti ini akan semakin meluas.
“Apakah pemerintah ngerti dampak penutupan lokalisasi yang gitu-gitu?” katanya.
Dia menambahkan penutupan lokalisasi tidak bisa dilakukan hanya karena alasan penyakit moral masyarakat saja. Sebab ini bukan soal menutup atau tidaknya, tapi bagaimana mencari solusi mengentaskan mereka. “Mohon maaf, saya bukan anti penutupan lokalisasi, tidak. Tetapi catatan penting itu tolong dipikirkan, dirembug, semua stakeholder. Kemudian dicari solusi,” katanya.
Jangan sampai penutupan lokalisasi hanya dilatarbelakangi oleh kemauan pihak tertentu atas alasan politik. Pemerintah tidak memikirkan soal bagaimana orang-orang di lokalisasi tersebut agar bisa mengembangkan hidup lebih lanjut tanpa harus bekerja sebagai pekerja seks. “Lebih tepatnya alihfungsi, bukan penutupan. Saya khawatir, pemerintah hanya membunuh api kecil. Sedangkan api besar tidak diselesaikan,” katanya.
Paskalis juga menyebut contoh penutupan lokalisasi di Surabaya. Apakah setelah lokalisasi di Surabaya itu ditutup, kemudian praktik prostitusi berhenti? Ternyata tidak. Mungkin tempatnya memang benar-benar tutup. Tetapi praktik prostitusi tetap berlangsung dan merebak di lain tempat.
“Justru kalau merebak di luar malah akan semakin tidak bisa dipantau dan tidak bisa didampingi, karena mereka tumbuh subur di mana-mana,” katanya.
Kalau prostitusi liar merebak di mana-mana, maka pemerintah justru akan kesulitan memonitor, mendampingi, termasuk menelusuri penyebaran penyakit IMS, HIV dan AIDS. “Nah, persoalan seperti itu sudah diperhitungkan dan dikaji secara matang apa belum?” katanya.
“Maka dari itu, perlu dipikirkan bersama dengan melibatkan sejumlah stakeholder. Selama ini memang ada mata rantai banyak pihak yang mengambil keuntungan dari bisnis prostitusi tersebut,” katanya.
Sementara itu, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, mengatakan penutupan lokalisasi ini menjadi program dari Kementerian Sosial (Kemensos) dengan tagline kebijakan ‘Indonesia Bebas Lokalisasi Prostitusi pada 2019’. Seluruh stakeholder di daerah diminta berperan aktif terlibat merealisasikan target tersebut.
Hendi sapaan akrab Hendrar Prihadi setuju, penutupan lokalisasi memerlukan kajian mendalam dan komprehensif. Pemerintah memang harus menangani dampak maupun tugas pengentasan para pelaku prostitusi secara berkelanjutan.
“Saya tidak ingin penutupan lokalisasi hanya menjadi sebuah ajang seremonial saja. Tidak dapat dipungkiri dalam upaya penutupan lokalisasi tersebut banyak aspek yang dipertimbangkan dan harus ditangani secara komprehensif,” katanya.
Jika kebijakan Kementerian Sosial bahwa lokalisasi harus dihapus dari Indonesia di 2019, maka Kota Semarang juga harus mengikutinya. “Saya tidak ingin melihat, para pelaku prostitusi justru berpotensi melakukan aktivitas serupa di tempat-tempat lain,” ujarnya.
Menurutnya, sangat tidak elok jika kehidupan di sebuah kota ada aktivitas prostitusi. Tetapi tidak bisa sertamerta menutup lokalisasi tanpa memertimbangkan aspek lain di dalamnya. Pihaknya meminta kepada jajarannya, agar dipastikan bahwa para pelaku prostitusi itu sudah siap dan terampil untuk melakukan aktivitas lain yang positif.
Tak hanya itu, pasca penutupan pun Hendi meminta agar segera disusun perencanaan yang matang untuk dapat segera mengubah kawasan bekas lokalisasi tersebut agar menjadi trademark baru Kota Semarang dengan citra baru yang lebih positif.
“Intinya ini harus komprehensif dan menjadi tanggung jawab bersama, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung”, tutupnya. (*)
editor : ricky fitriyanto