in

Penangkapan Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu, Negara Dianggap Gagal Rawat Demokrasi

SEMARANG (jatengtoday.com) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam keras penangkapan jurnalis, pendiri Watchdoc Documentary sekaligus aktivis Hak Asasi Manusia, Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu, mantan wartawan Tempo dan editor Vice sekaligus musisi Banda Neira. Penangkapan dua aktivis tersebut dianggap bertentangan dengan nilai demokrasi.

AJI mendesak Polda Metro Jaya melepaskan Dandhy dan Ananda dan membebaskannya dari segala tuntutan hukum. Polda Metro Jaya menangkap Dandhy Laksono di rumahnya di Pondok Gede, Bekasi, Kamis, 26 September 2019. Dandhy yang merupakan Sutradara film dokumenter “Sexy Killers” dan pengurus nasional AJI itu tiba di rumah sekitar pukul 22.30 WIB. Menurut kronologis YLBHI, selang 15 menit setelah Dandhy tiba di rumah, kemudian datang polisi menggedor-gedor rumah Dandhy dengan membawa surat perintah penangkapan.

Polisi menangkap Dhandy karena cuitannya soal Papua di twitter pada 23 September 2019 lalu. Unggahan yang mengabarkan tentang penembakan yang terjadi di Jayapura dan Wamena itu dituding menimbulkan rasa kebencian, permusuhan individu dan kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Dandhy kemudian dibawa tim yang terdiri 4 orang ke kantor Polda Metro Jaya dengan mobil Fortuner sekitar pukul 23.05. Penangkapan tersebut disaksikan oleh dua satpam RT setempat.

Dandhy lantas dibawa ke Polda Metro Jaya dan dicecar 14 pertanyaan serta 45 pertanyaan turunan. Meski Dandhy diperbolehkan pulang pada Jumat (27/9/2019), tetapi status tersangkanya tidak dicabut. Polisi menjerat Dandhy dengan Undang-Undang Tahun 2011 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 28 Ayat 2 juncto pasal 45 Ayat 2 UU ITE.

Sedangkan Ananda Badudu yang juga anggota AJI Jakarta juga ditangkap polisi di tempat tinggalnya. Ananda dituduh mengumpulkan donasi dan mentransfernya untuk gerakan mahasiswa pada 23-24 September 2019 lalu.

Sebelum demonstrasi besar-besaran di DPR, Ananda berinisiatif menggalang dana dengan membuat dana crowfunding di situs kitabisa.com. Kendati Ananda sudah dilepas pukul 10.30 WIB, tetap saja penangkapan Ananda ini mencederai demokrasi.

Dukungan juga datang dari Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI). Mereka juga mengecam keras penangkapan yang dilakukan terhadap Dandhy dan Ananda Badudu.

“Dua aktivis ini dijerat menggunakan UU ITE. Ini pasal karet yang dapat mengancam siapa saja,” kata ketua SINDIKASI, Ellena, Jumat (27/9/2019).

Menurut Ellena, kegiatan Ananda yang menghimpun dana publik untuk membantu kebutuhan medis para peserta aksi dalam mengawal proses demokrasi di Indonesia bukanlah tindak pidana. Kegiatan Ananda menurutnya dijamin UUD 1945, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik.

“Dana publik yang dihimpun digunakan sepenuhnya untuk membantu para mahasiswa dan masyarakat sipil yang menyuarakan aspirasinya di depan gedung DPR RI beberapa waktu lalu, dengan mengirimkan bantuan medis berupa ambulans, air, dan oksigen,” katanya.

SINDIKASI menegaskan hal ini tidak melanggar hukum karena yang dilakukan Ananda Badudu jelas atas nama kemanusiaan. Sedangkan penangkapan terhadap aktivis Dandhy Dwi Laksono menggunakan UU ITE merupakan pasal karet yang dapat mengancam siapa saja.

Tercatat, Dandhy dikenal publik sebagai pendiri Watchdoc dan pembuat film dengan karya dokumenter yang mengungkap berbagai permasalahan di Indonesia. Seperti ancaman perkebunan sawit lewat film dokumenter Asimetris dan Sexy Killers yang mengkritisi praktik pertambangan di Tanah Air.

“Tindakan kepolisian ini merupakan salah satu bentuk membungkam kritik dan kebebasan berpendapat. Maka dari itu, kami mendesak agar kepolisian membebaskan Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu dari segala tuduhan. Pemerintah harus menjamin tegaknya kebebasan berpendapat dan berekspresi yang merupakan amanat UUD 1945,” tegasnya.

Aliansi Jaringan Anti-Teror Negara juga mengecam penangkapan Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu tersebut. Penangkapan itu dinilai sebagai tindakan sewenang-wenang. “Penangkapan Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu menunjukkan negara gagal merawat demokrasi karena menyerang kebebasan berpendapat dan berekspresi,” kata juru bicara, Aliansi Jaringan Anti-Teror Negara, Tommy Apriando. (*)

editor : ricky fitriyanto

Abdul Mughis