in

Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Ajakan Seks Bos, Syarat Perpanjang Kontrak

Penyebabnya bukan fisik perempuan, tetapi budaya patriarki. Selesaikan secara hukum agar pelecehan seksual di tempat kerja tidak dianggap wajar.

Pelecehan seksual di tempat kerja, sebab utamanya bukan fisik perempuan, melainkan budaya patruarki. Selesaikan secara hukum agar tidak dianggap wajar. (Image: iStockPhoto)

Beberapa hari terakhir ini, Beranda media online dipenuhi dengan berita karyawati di sebuah perusahaan di Cikarang yang harus menerima ajakan bos untuk ‘staycation’ jika mau kontrak kerjanya diperpanjang. Kabar ini muncul pertama kali dari cuitan twitter pemilik akun @Miduk17 yang diunggah 30 April 2023.

Barbara A. Gutek dan Vera Dunwoody (1987) mengatakan, aktivitas seksual sebagai suatu bagian dalam persyaratan kerja baik untuk memperoleh dan mempertahankan pekerjaan ataupun promosi jabatan didefinisikan sebagai salah satu bentuk pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja.

Viralnya unggahan ini sebetulnya puncak gunung es dari banyaknya kasus pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja. Seolah dianggap normal,  sehingga penanganan kasus-kasus pelecehan seksual di kerja terkesan tidak memberikan efek jera kepada para pelaku. Deret angka statistik pengaduan/laporan tak menunjukkan kasus pelecehan seksual menurun.

Ramainya pemberitaan media tentang kasus ‘staycation’ sebagai syarat perpanjangan kontrak mengingatkan kembali pada film Bombshell (2019). Film ini diangkat dari kisah tiga jurnalis yang bekerja di kantor berita Fox News di Amerika Serikat yang mendapatkan pelecehan seksual dari atasan mereka. Mereka berjuang untuk “bicara” dan memperoleh keadilan atas perlakuan itu.

Sebelum Bombshell (2019), Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Indonesia, pada 2017, sudah merilis dokumentasi hasil riset mereka dari kejadian kasus-kasus pelecehan seksual yang dialami perempuan di tempat kerja. Film yang “nyata” dan dialami para buruh lintas pabrik.

Film dokumenter FBLP berjudul “Angka Jadi Suara” (2017) menyajikan hasil riset selama 2 bulan yang dilakukan di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung. Dalam 2 bulan saja, setidaknya mereka menerima 25 pengaduan kasus pelecehan seksual.

Lihat film “Angka Jadi Suara” di video ini.

Dokumenter ini mengangkat cerita-cerita dari para perempuan korban yang mengalami pelecehan seperti dipegang payudara atau pantatnya oleh pekerja laki-laki, ada yang sampai dicium oleh pekerja lain di depan umum, hingga ada cerita pelecehan yang dilakukan bagian personalia terhadap calon pekerja saat interview.

Kejadian ini membuat para korban mengalami trauma, takut, sering menangis, hingga menurunkan rasa kepercayaan diri mereka.

Pelecehan seksual yang mereka alami di tempat kerja dianggap sebagai hal yang wajar dan biasa terjadi sehingga mereka tidak berani untuk speak up apalagi melaporkan kepada HRD atau pimpinan perusahaan, terlebih jika pelakunya adalah atasan mereka.

Setidaknya melalui Bombshell (2019) dan dokumenter Angka Jadi Suara (2017), ditunjukkan bagaimana pelecehan seksual di tempat kerja terhadap perempuan sudah menjadi hal yang dinormalisasi dan menjadi sebuah fenomena struktural. Perempuan dipandang, dilekatkan, dan diperlakukan hanya sebagai objek seks semata.

Pelecehan seksual di tempat kerja tidak hanya terjadi di kantor berita di Amerika Serikat ataupun di perusahaan di KBN Cakung seperti pada cerita dua film di atas, namun terjadi di banyak tempat kerja.

Pada 2018 lalu, Never Okay Project (NOP) bekerjasama dengan Scoop Asia melakukan survei untuk mengidentifikasi kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja. Survei tersebut melibatkan 1.240 responden yang berasal dari 34 provinsi. Survei itu mengidentifikasi berbagai bentuk pelecehan seksual di tempat kerja yakni pelecehan secara lisan, pelecehan fisik, dan pelecehan isyarat.

Hasilnya menunjukkan bahwa pekerja perempuan lebih rentan mengalami pelecehan seksual dibandingkan pekerja laki-laki. Dari survei yang dilakukan terhadap responden perempuan, hanya 4% responden perempuan yang tidak pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja dan sebanyak 44% responden perempuan pernah mengalami pelecehan secara fisik di tempat kerja.

Sebelumnya pada 2017, Perempuan Mahardhika juga melakukan survei pelecehan seksual dan pengabaian hak maternitas pada buruh garmen. Survei ini yang melibatkan 773 pekerja garmen perempuan.

Hasil survei mengatakan, 437 atau 56,5% pekerja perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja dimana 331 pekerja mengalami mengalami pelecehan fisik.

Data terbaru dirilis oleh Komnas Perempuan pada Maret 2023 bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Sedunia. Komnas Perempuan menyoroti adanya peningkatan kasus pelecehan seksual di tempat kerja. Sepanjang 2022, Komnas Perempuan menerima 115 kasus pengaduan pelecehan seksual di tempat kerja, jumlah pengaduan ini meningkat dibandingkan dengan 2020 di mana Komnas Perempuan menerima 91 kasus pengaduan dan 2021 dengan 114 pengaduan.

Penyebab Pekerja Perempuan Lebih Rentan Mengalami Pelecehan Seksual

Yang menjadi masalah utama, bukan penampilan fisik perempuan, melainkan budaya patriarki.

Budaya patriarki menjadi problem utama yang terus melanggengnya kekerasan yang dialami perempuan. Faktor sosial dan kultural yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat atau lebih rendah dari laki-laki menjadi penyebab utama dari kenyataan tersebut.

Budaya patriarki mengkonstrusikan laki-laki untuk berperilaku agresif dan mendominasi secara seksual (maskulin), sementara perempuan dilekatkan pada sifat kepasifan dan lebih menerima (feminin). Dalam masyarakat patriarki, kekuasaan berada di tangan mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Perempuan otomatis dipandang sebagai subordinat yang boleh diremehkan.

Ketika masuk di dalam dunia kerja, kultur patriarki memengaruhi kesadaran laki-laki untuk mendominasi dan mempertahankan posisinya dengan melecehkan rekan kerja perempuan. Pelecehan ini sebagai bentuk ancaman yang dibuat untuk menghambat perempuan.

Menurut Heather McLaughlin, Christoper Uggen, dan Amy Backstone dalam artikel mereka berjudul “Sexual Harassment, Workplace Authority, and the Paradox of Power,” pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja sebagai cara-cara untuk “mengawasi” perempuan dan bentuk penghukuman dari laki-laki terhadap perempuan karena perempuan dinilai berperilaku tidak sesuai dengan “kodrat” yang seharusnya dilakukan perempuan.

Budaya patriarki ini juga menyumbangkan persepsi umum di masyarakat dengan menempatkan perempuan sebagai sumber kesalahan atas terjadinya pelecehan seksual. Contohnya anggapan bahwa pelecehan seksual itu terjadi karena perilaku perempuan yang dianggap genit atau mempermasalahkan pakaian yang dikenakan perempuan yang dinilai mengundang birahi laki-laki, seperti dalam dokumenter “Angka Jadi Suara” pada saat perwakilan Serikat Buruh mengadakan dialog dengan pihak KBN Cakung.

Dalam dokumenter “Angka Jadi Suara” bahkan diceritakan pelecehan seksual terjadi karena salahnya fisik perempuan misalnya saja karena pekerja perempuan itu memiliki payudara yang besar. Menempatkan perempuan sebagai sumber kesalahan inilah yang menyebabkan banyaknya kasus pelecehan seksual di tempat kerja tidak terlaporkan. Korban merasa takut dan tidak aman ketika melaporkan, dirinya akan terancam dan bahkan dipersalahkan.

Persoalan lain adalah relasi kuasa yang terjadi di tempat kerja jika pelecehan seksual dilakukan oleh orang yang memiliki kedudukan atau posisi lebih tinggi daripada pekerja perempuan yang mengalami pelecehan seksual. Hasil survei Never Okay Project (NOP) telah menguatkan pernyataan ini, sebanyak 36% dari pelaku pelecehan seksual di tempat kerja adalah atasan atau rekan kerja yang lebih senior. Atasan atau rekan kerja yang lebih senior menempatkan mereka sebagai pelaku pelecehan seksual yang paling banyak melakukan tindakan ini.

Kabar yang diunggah pemilik akun twitter @Miduk17 adalah cerminan jika relasi kuasa menjadi salah satu faktor langgengnya pelecehan seksual di tempat kerja. Ketimpangan atas akses lapangan pekerjaan ditambah lapangan kerja yang sempit, semakin memperkuat persoalan relasi kuasa tersebut.

Mencegah Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Secara hukum, terkait dengan viralnya syarat ‘staycation’ untuk mendapatkan perpanjangan kontrak kerja, Universal Declaration of Human Rights menempatkan tindakan tersebut sebagai bentuk pelanggaran atas hak asasi manusia. Article 23 DUHAM menyebutkan “Everyone has the right to work, to free choice of employment, to just and favourable conditions of work and to protection against unemployment.”

Di dalam hukum nasional di Indonesia Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yakni Pasal 49 juga secara jelas telah mengatur bahwa “wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.”

Meskipun perempuan dijamin perlindungannya untuk tidak mendapatkan perlakuan yang semena-mena di tempat kerja, faktanya angka pelecehan seksual di tempat kerja masih cukup tinggi. Masih ada -dan mungkin banyak- perusahaan yang mengajukan persyaratan kerja yang tidak adil bagi perempuan, seperti viralnya berita di berbagai media akhir-akhir ini. Aturan yang kurang tegas dalam melindungi pekerja dari tindak pelecehan seksual serta ketiadaan sanksi bagi mereka yang melakukannya dinilai semakin melanggengkan terjadinya pelecehan seksual di tempat kerja.

Salah satu hasil survei Never Okay Project (NOP) menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan yang tidak mempunyai mekanisme yang jelas dalam mengatur penanganan pelecehan seksual yang terjadi di perusahaan tersebut. Sehingga ketika terjadi pelecehan seksual, korban merasa kebingungan harus melakukan apa dan mengadukan kejadian tersebut kemana.

Harapan akan teratasinya kasus-kasus pelecehan seksual di tempat kerja barangkali muncul seiring disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 13 April 2022 lalu. UU TPKS secara lebih jelas merumuskan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang salah satunya adalah tindakan pelecehan seksual baik secara fisik maupun non-fisik.

Dalam UU TPKS khususnya Pasal 5 dan Pasal 6, juga mengatur sanksi yang tegas bagi pelaku pelecehan seksual, sepanjang terdapat laporan secara resmi kepada kepolisian dari korban. Sanksi ini tidak hanya ditujukan bagi seseorang namun juga diberlakukan terhadap korporasi.

Meski Indonesia telah memiliki UU TPKS, penyelesaian kasus-kasus pelecehan seksual akan tetap menghadapi tantangan dalam penegakan hukumnya. Setidaknya tantangan itu akan muncul dari korban itu sendiri juga pada aparat penegak hukum. UU TPKS mensyaratkan laporan dari korban secara langsung kepada kepolisian (kecuali jika korbannya adalah anak atau penyandang disabilitas) agar kasus pelecehan seksual dapat diproses secara hukum.

Ini akan menjadi tantangan dalam mendampingi para korban. Budaya patriarki yang masih sangat kuat dan trauma yang dialami korban, tentu tidak mudah bagi korban untuk mampu mengungkapkan atau melaporkan pelecehan seksual yang ia alami di tempat kerja.

Tantangan lain adalah independensi aparat penegak hukum dalam menangani kasus pelecehan seksual, terlebih jika pelaku yang dilaporkan adalah orang yang memiliki kekuasaan dibandingkan korban yang melapor. Tentu masih ingat kasus yang menimpa guru honorer Baiq Nuril. Ia dijatuhi hukuman 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Mataram atas tuduhan “menyebarkan konten asusila” dan dinyatakan melanggar UU ITE. Ia dipersalahkan atas barang bukti yang ia miliki berupa rekaman suara atasan Baiq di kantor yang melecehkan dia secara seksual melalui sambungan telepon.

Jangan sampai karena aparat penegak hukum yang tidak independen, kejadian yang dialami Baiq juga akan dialami oleh korban pelecehan seksual yang lain. [brita]

Britha Mahanani

Britha Mahanani. Master di Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UGM Yogyakarta.