in

Mengenal Gunarti, Kartini dari Pegunungan Kendeng yang Getol Menolak Pabrik Semen

SEMARANG (jatengtoday.com) – Berbicara tentang pejuang lingkungan di kawasan Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, tak bisa dilepaskan dari sosok Gunarti (45). Ia adalah Kartini masa kini. Tanggal lahirnya juga sama dengan pejuang emansipasi wanita, yakni 21 April.

Perjuangan Gunarti berawal saat daerahnya di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati pada tahun 2016 silam hendak didirikan pabrik semen oleh PT Semen Gresik. Tepatnya di area Pegunungan Kendeng. Ia menolak pendirian pabrik karena tahu bahwa dampak yang akan ditimbulkan sangat buruk.

Gunarti akhirnya memimpin para ibu di desanya untuk mencegah pendirian pabrik tersebut. Padahal, semula Gunarti hanyalah ibu rumah tangga biasa yang sehari-hari berkutat pada urusan rumah tangga dan bercocok tanam di sawah.

Menurutnya, sejak kecil ia memang dididik oleh orang tuanya untuk menjadi petani. Karena itu, Gunarti sangat geram ketika tahu desanya akan dibangun pabrik semen. Sebab yang ada di pikirannya, jika pabrik sudah berdiri, maka tanah, air, dan kehidupan di desanya akan terancam.

“Pada dasarnya saya tergerak untuk ikut berjuang menyelamatkan lingkungan Pegunungan Kendeng karena atas dasar keterancaman,” ujarnya saat ditemui pada acara Peringatan Hari Bumi 2019, Minggu (21/4/2019), bertepatan dengan Peringatan Hari Kartini.

Dia menjelaskan, gerakan penolakan telah melalui proses panjang. Saat awal tahun 2006, warga di 7 desa di Kecamatan Sukolilo, Pati, tidak mengetahui bahwa wilayahnya akan didirikan pabrik semen. Warga hanya tahu bahwa ada calo yang membeli tanah-tanah di lereng Pegunungan Kendeng.

“Waktu itu kami tahunya hanya dibeli, gitu aja. Isunya sih akan ditanami pohon Jarak sebagai pengganti bahan bakar minyak, karena BBM langka,” terangnya menggunakan bahasa Jawa.

Namun, warga mulai curiga lantaran pohon Jarak tak kunjung ditanam. Belakangan tersebar kabar bahwa akan ada pendirian pabrik. Kemudian warga mencari tahu kebenaran isu tersebut, dari mulai bertanya kepada kepala desa dan camat. Tapi informasinya masih simpang siur.

Akhirnya warga berkumpul membicarakan hal tersebut dengan dipimpin oleh Gunretno yang tak lain adalah kakak kandung Gunarti.

Dibuatlah panggung pertemuan di area dekat Pegunugan Kendeng. Pertemuan itu dilakukan bersama pemerintah kabupaten sampai gubernur, tapi yang datang hanya perwakilan pejabat. Katanya, dari pertemuan itu, warga mendapat jawaban positif bahwa akan dibangun pabrik semen.

Pasca itu, cerita Gunarti, warga terus melakukan konsolidasi. Namun, hanya kaum adam saja yang melakukannya. “Awalnya itu memang hanya bapak-bapak. Dan saya adalah satu-satunya kaum ibu yang ikut dalam setiap pertemuan bapak-bapak,” ungkapnya.

Ia ikut lantaran menggantikan suami karena harus berbagi peran. “Saya kan petani. Punya ternak, punya sawah yang harus diurus setiap hari. Tidak mungkin kalau saya yang mengerjakan. Makanya bagi tugas, suami saya yang ngurusi itu dan saya yang keluar menolak parik semen,” jelas Gunarti.

Dari gerakan penolakan itu, akhirnya pada tahun 2007 terbentuklah kelompok Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). Lewat jaringan itulah berbagai strategi disusun, baik untuk melawan petugas PT Semen Gresik, aparat kepolisian dan TNI, serta para preman yang dibayar untuk melancarkan pembangunan pabrik.

“Hampir dua tahun kami melakukan penolakan, belum ada ibu-ibu yang ikut. Apalagi pertemuan yang dilakukan 2 minggu sekali itu biasanya malam. Jadi jam 7 itu saya pake sepeda datang, nanti pulang jam 11, jam 12, sendirian,” ucapnya.

Dari situ, dirinya selalu berpesan kepada bapak-bapak agar hasil dari setiap pertemuan dikabarkan kepada istrinya masing-masing. Karena pada dasarnya perempuan lebih mudah dipengaruhi dan ditakut-takuti, sedangkan yang lebih banyak di rumah itu kaum ibu.

“Nanti kalau pas di rumah hanya ada ibu-ibu, didatangi preman, disuruh menjual tanah dan lain-lain, kan repot. Suaminya pada nolak, istrinya malah mendukung karena tidak tahu, jadinya kacau,” kata Gunarti.

Suatu ketika, ujarnya, ia lantas meminta izin kepada para suami yang tergabung dalam JMPPK. Gunarti bermaksud mendatangi para ibu untuk menyosialisasikan gerakan tolak semen. Dia keliling 7 desa untuk menjelaskan mengapa harus menolak.

“Desa-desa, kampung-kampung saya sambangi. Mohon maaf, meskipun saya Sedulur Sikep (penganut aliran kepercayaan Samin), kadang saya datang di acara ibu-ibu yasinan, ibu tahlilan. Sebab persoalan ini bukan persoalan agama dan kepercayaan, tapi soal kebutuhan. Jadi bareng-bareng,” tegasnya.

Baginya, sudah tidak saatnya kaum hawa berdiam diri di rumah. “Kalau Kendeng ditambang, sumber mata air bisa habis, karena itu satu-satunya sumber mata air. Yang terkena dampak pertama kali adalah kaum ibu. Kami ini bangun tidur sudah butuh air, buat masak, buat anak-anak,” imbuh Gunarti.

Berkat usahanya, sedikit demi sedikit ada yang mulai paham. Kemudian terbentuklah Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Simbar Wareh. KPPL masih satu kesatuan dengan JMPPK yang digerakkan oleh bapak-bapak.

Disebutkan, sematan Simbar Wareh di belakang KPPL ini diambil dari nama dua sumber mata air; simbar joyo dan gua wareh, yang bakal terancam jika pabrik semen benar didirikan.

Kelompok inilah yang pernah menggegerkan istana dengan cara mengecor kakinya dengan semen. Aksi heroik itu menimbulkan korban jiwa, rekan Gunarti, Padmi namanya, meninggal selepas melakukan gerakan protes.

Usaha Gunarti bersama rekan seperjuangannya membuahkan hasil. Sejak persoalannya dibawa ke ranah hukum pada tahun 2008, akhinya PT Semen Gresik berhasil dipukul mundur dari tanah Sukolilo. Pada tahun 2010, MA memutuskan bahwa pabrik semen sudah tidak bisa melakukan PK.

Disebutkan, PT Semen Gresik dan Pemkab Pati terbukti melanggar perda tata ruang. Tata ruang saat itu peruntukannya untuk kawasan pertanian dan pariwisata. Namun, sebelum perubahan perda tata ruang itu rampung, diubah jadi kawasan industri dan pertambangan.

Persoalan di Sukolilo selesai, tapi tidak untuk Pegunungan Kendeng secara umum, yang berada di dua kabupaten, Pati dan Rembang.

Pada tahun 2010, PT Sahabat Mulia Sakti, anak perusahaan Indocement, mau masuk lagi ke Pegunungan Kendeng. Kali ini menyasar tetangga Kecamatan Sukolilo, yakni Tambakromo, Pati. Gunarti dan rekan-rekannya pun ikut berjuang di tempat itu.

Begitu juga dengan persoalan di Kabupaten Rembang yang terancam pabrik Semen Indonesia (dulu Semen Gresik di Sukolilo). Perjuangannya terus bergulir hingga sekarang. Aksi cor kaki pada tahun 2016 dan 2017, katanya, hanya sebagian kecil dari aksi panjangnya.

Gunarti mengaku bakal berjuang hingga titik darah penghabisan. “Bagi saya, di mana pun saya berada, di situ ibu bumi saya pijak, di situ saya punya hak untuk melindungi, meskipun nyawa saya taruhannya,” tandas nenek dengan 3 cucu ini. (*)

editor : ricky fitriyanto