in

KKJ: Kegagalan Penegak Hukum Mengusut Pelaku Serangan Digital terhadap Media

Jurnalis dan Media yang memproduksi tulisan kritis dan sensitif rentan mendapat serangan digital.

Ilustrasi. (dokumen jatengtoday.com)

JAKARTA – Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) yang beranggota 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil mengecam aksi serangan Distributed Denial of Service (DDos) terhadap website Konde.co. Peretasan seperti ini bukanlah serangan digital pertama yang terjadi terhadap jurnalis dan media di Indonesia.

Kasus seperti ini menjadi ancaman serius sebagai bentuk pembungkaman kebebasan pers. Celakanya, sejauh ini tidak ada upaya serius oleh aparat penegak hukum untuk mengungkap siapa pelakunya.

Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Erick Tanjung menjelaskan, berdasarkan verifikasi KKJ, serangan digital tersebut dilatarbelakangi atas terbitnya laporan berita Konde.co pada Senin 24 Oktober 2022, tentang kasus perkosaan yang terjadi di lingkungan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Diduga kasus perkosaan tersebut melibatkan sedikitnya empat orang pegawai di kementerian tersebut.

“Berita itu mengungkap kejadian memilukan seorang perempuan yang bekerja di Kementerian Koperasi dan UKM. Dia diperkosa, kemudian dipaksa menikah dengan salah satu pelaku,” ungkap Erick dalam keterangan persnya, Selasa (25/10/2022).

Namun pernikahan tersebut hanya bertahan sesaat. Sehingga hal itu menguatkan dugaan bahwa pernikahaan tersebut dilakukan hanya untuk membebaskan para pelaku dari jeratan pidana.

“Berita ini kemudian ramai jadi pembicaraan di Twitter dan media sosial lainnya. Kemudian pada Senin 24 Oktober 2022, pukul 16.00 WIB, tiba-tiba situs Konde.co down, tidak bisa diakses,” terangnya.

Penelusuuran yang dilakukan oleh tim IT Konde.co mengidentifikasi bahwa website Konde.co telah terjadi serangan digital Ddos yang menyebabkan website tidak bisa diakses lagi hingga keterangan pers ini diturunkan.

“Ini merupakan serangan kedua kalinya yang dialami Konde.co terkait dengan berita kekerasan seksual yang dipublikasikan. Kasus pertama menimpa Konde.co pada Mei tahun 2020. Twitter Konde saat itu juga terkena hack ketika Konde.co melakukan diskusi kekerasan seksual,” imbuh Erick.

Menurutnya, upaya serangan berupa DDOS tersebut, mengakibatkan terhalangnya publik untuk mengakses informasi berita yang disebarluaskan melalui website Konde.co. “Serangan ini merupakan tindak kejahatan menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkanluaskan gagasan dan informasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pers,” terang dia.

Lebih lanjut, peretasan seperti ini bukanlah serangan digital pertama yang terjadi terhadap jurnalis dan media di Indonesia. Pada Februari 2022, akun Whatsapp, Instagram, Facebook dan nomor handphone pribadi Ketua Umum Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim diretas. Pada Oktober 2021, situs media online Project Multatuli terkena serangan DDoS yang menyebabkan situsnya tidak dapat dibuka. Pada tahun 2020, situs Tirto, Tempo, dan Magdalene pun mengalami serangan serupa.

“Bulan lalu, pada 23 hingga 26 September 2022, sebanyak 37 tim redaksi termasuk eks karyawan Narasi mengalami percobaan peretasan akun media sosialnya. Tak hanya itu, mereka juga mengalami serangan DDoS,” katanya.

BACA JUGA: Fenomena Peretasan Awak Media Ancaman Kebebasan Pers

Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin menambahkan, serangan DDoS ini mengancam kebebasan pers yang dijamin kemerdekaannya oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Serangan digital terhadap media, dan kegagalan aparat penegak hukum untuk menemukan pelaku merupakan bentuk pembungkaman kebebasan pers,” tegas dia.

Serangan seperti ini kerap terulang saat jurnalis atau media melaporkan berita kritis dan sensitif yang menyinggung pihak berkuasa. “Jika tidak diproses secara hukum, serangan seperti ini bisa membuat jurnalis khawatir dan takut untuk menulis pemberitaan yang mengkritisi pihak yang berkuasa. Sehingga dampaknya, masyarakat dirugikan karena berkurangnya berita kritis terhadap pihak yang berkuasa,” katanya.

Maka dari itu, lanjut dia, Komite Keselamatan Jurnalis mendesak pemerintah secara terbuka menyatakan dan mengakui bahwa serangan, ancaman, pelecehan, dan intimidasi terhadap masyarakat sipil, termasuk jurnalis dan kantor media, merupakan pelanggaran HAM yang serius.

“Aparat kepolisian harus segera melakukan penyelidikan dan penyidikan atas serangan DdoS ini serta diadili di pengadilan. Kami meminta semua pihak untuk menghormati kebebasan pers dan kebebasan berekspresi,” tegasnya.

Seperti diketahui, Komite Keselamatan Jurnalis beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu; Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). (*)

Abdul Mughis